Jumat, 01 November 2013

Apakah Orang Arab lebih Mulia dari Non Arab ?

 Foto: Apakah Orang Arab lebih Mulia dari Non Arab ?

Agama Islam menetapkan hubungan antara kelompok masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia berdasarkan kebenaran yang hak, bukan berdasarkan kekerabatan, jenis, lingkungan ataupun warna kulitnya. Pada dasarnya, manusia diciptakan untuk saling mengenal dan saling berinteraksi, bukan saling bertikai dan terpecah belah.

Islam menganggap bahwa semua manusia adalah bersaudara; semuanya berasal dari bapak Adam dan ibu Hawa. Allah telah berfirman, “Wahai manusia ! bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. Al-Nisa: 1)

Rasulullah Saw. telah bersabda: “Wahai manusia ! sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan bapak kalian juga satu. Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Sesugguhnya yang paling mulia di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa.”

Islam telah menetapkan dasar-dasar persaudaraan antar manusia dalam tiga poin penting, yaitu:

Pertama, Islam tidak mengakui adanya dosa turunan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Wahyu ilahi telah menetapkan bahwa seseorang tidak akan dibebani dosa orang lain, dan baginya apa yang dia perbuat.

Kedua, Islam tidak menganggap bahwa satu golongan manusia lebih mulia daripada golongan lain. Orang Arab tidak lebih mulia dari orang non Arab, begitu juga sebaliknya. Orang kulit merah tidak lebih mulia dari orang kulit putih, begitu juga sebaliknya. Orang kulit putih tidak lebih mulia dari orang kulit hitam, begitu juga sebaliknya. Keutamaan seseorang hanya didasarkan atas ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Ketiga, syariat langit berlaku sama terhadap semua manusia, tidak memandang kewarganegaraan, warna kulit  dan juga jenisnya. Keadilan mutlak adalah dasar yang menjadi misi utama para Nabi dan Rasul Allah.

Pilar-pilar inilah yang menjadi bukti bahwa Islam menjunjung tinggi persaudaraan antar sesama manusia, sepanjang zaman dan menembus batas-batas negara.

-Dr. Ahmad Karimah, Dosen fakultas Syariah Islamiyah Universitas al-Azhar.

Sumber: Koran Shaut al-Azhar edisi 20 Dzulhijjah 1434 H.
 Syekh. Dr. Ahmad Karimah

Agama Islam menetapkan hubungan antara kelompok masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia berdasarkan kebenaran yang hak, bukan berdasarkan kekerabatan, jenis, lingkungan ataupun warna kulitnya. Pada dasarnya, manusia diciptakan untuk saling mengenal dan saling berinteraksi, bukan saling bertikai dan terpecah belah.

Islam menganggap bahwa semua manusia adalah bersaudara; semuanya berasal dari bapak Adam dan ibu Hawa. Allah telah berfirman, “Wahai manusia ! bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. Al-Nisa: 1)

Rasulullah Saw. telah bersabda: “Wahai manusia ! sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan bapak kalian juga satu. Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Sesugguhnya yang paling mulia di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa.”

Islam telah menetapkan dasar-dasar persaudaraan antar manusia dalam tiga poin penting, yaitu:

Pertama, Islam tidak mengakui adanya dosa turunan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Wahyu ilahi telah menetapkan bahwa seseorang tidak akan dibebani dosa orang lain, dan baginya apa yang dia perbuat.

Kedua, Islam tidak menganggap bahwa satu golongan manusia lebih mulia daripada golongan lain. Orang Arab tidak lebih mulia dari orang non Arab, begitu juga sebaliknya. Orang kulit merah tidak lebih mulia dari orang kulit putih, begitu juga sebaliknya. Orang kulit putih tidak lebih mulia dari orang kulit hitam, begitu juga sebaliknya. Keutamaan seseorang hanya didasarkan atas ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Ketiga, syariat langit berlaku sama terhadap semua manusia, tidak memandang kewarganegaraan, warna kulit dan juga jenisnya. Keadilan mutlak adalah dasar yang menjadi misi utama para Nabi dan Rasul Allah.

Pilar-pilar inilah yang menjadi bukti bahwa Islam menjunjung tinggi persaudaraan antar sesama manusia, sepanjang zaman dan menembus batas-batas negara.

-Dr. Ahmad Karimah, Dosen fakultas Syariah Islamiyah Universitas al-Azhar.

Sumber: Koran Shaut al-Azhar edisi 20 Dzulhijjah 1434 H.

Apa Kata Ulama tentang Umat non Islam?

 Foto: Apa Kata Ulama tentang Umat non Islam?

Syekh Ahmad Thayyib, Syekh al-Azhar:

“Adanya dialog dan perjanjian politik dengan Yahudi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah Munawwarah adalah salah satu bentuk toleransi Islam dan pengakuannya terhadap agama lain. 

Kita juga bisa melihat betapa Islam dan Nabinya memposisikan agama Kristen dengan baik. Di dalam al-Quran terdapat perkataan yang baik tentang umat Kristen, serta sejarah agung dan kedudukan Nabi Isa alaihi salam.”

Syekh Yusuf Al-Qardawy, Ketua Persatuan Ulama Dunia

“Tidak ada keraguan lagi bahwa persaudaraan atas dasar akidah Islam adalah persaudaraan yang paling kuat. Namun hal itu tidak menafikan adanya persaudaraan atas dasar kepentingan lain, seperti persaudaraan atas dasar bangsa dan negara. 

Dalilnya sangat jelas, bahwa al-Quran mensifati para Nabi dan para Rasul sebagai saudara kaumnya, padahal kaumnya belum tentu beriman kepada mereka. Ini membuktikan bahwa al-Quran mengakui adanya persaudaraan yang didasarkan atas bangsa dan negara.”

Sumber: Koran Shaut al-Azhar edisi 20 Dzulhijjah 1434 H. dan Fatawa Muashirah karangan Syekh Yusuf al-Qardawy

Syekh Ahmad Thayyib, Syekh al-Azhar:

“Adanya dialog dan perjanjian politik dengan Yahudi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah Munawwarah adalah salah satu bentuk toleransi Islam dan pengakuannya terhadap agama lain.

Kita juga bisa melihat betapa Islam dan Nabinya memposisikan agama Kristen dengan baik. Di dalam al-Quran terdapat perkataan yang baik tentang umat Kristen, serta sejarah agung dan kedudukan Nabi Isa alaihi salam.”

Syekh Yusuf Al-Qardawy, Ketua Persatuan Ulama Dunia

“Tidak ada keraguan lagi bahwa persaudaraan atas dasar akidah Islam adalah persaudaraan yang paling kuat. Namun hal itu tidak menafikan adanya persaudaraan atas dasar kepentingan lain, seperti persaudaraan atas dasar bangsa dan negara.

Dalilnya sangat jelas, bahwa al-Quran mensifati para Nabi dan para Rasul sebagai saudara kaumnya, padahal kaumnya belum tentu beriman kepada mereka. Ini membuktikan bahwa al-Quran mengakui adanya persaudaraan yang didasarkan atas bangsa dan negara.”

Sumber: Koran Shaut al-Azhar edisi 20 Dzulhijjah 1434 H. dan Fatawa Muashirah karangan Syekh Yusuf al-Qardawy
-https://www.facebook.com/suara.alazhar

Bolehkan Kita Menyebut Yahudi sebagai Cucu Kera atau Cucu Babi?


Foto: ‎Bolehkan Kita Menyebut Yahudi sebagai Cucu Kera atau Cucu Babi? 

Allah berfirman tentang kaum Yahudi dalam Surat Al-Baqarah ayat 65:

وَ لَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِئِيْنَ

“Dan sesungguhnya telah Kami ketahui orang-orang yang melanggar perintah pada hari Sabtu, maka Kami firmankan : Jadilah kamu kera-kera yang dibenci !”

Dan juga di Surat Al-Maidah ayat 60:

قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. 

Lalu apakah kedua ayat ini bisa dijadikan landasan untuk menyebut kaum Yahudi sebagai keturunan kera dan babi? Jawabannya tidak, karena: 

1. Kera dan babi yang disebutkan Allah pada ayat di atas tidak memiliki keturunan, sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Allah tidak memberikan keturunan kepada yang berubah bentuk. Dan (hal ini) telah terjadi dahulunya (pada orang-orang yang berubah menjadi) kera dan babi." 

2. Bahasa seperti ini sangat provokatif dan bukan sifat seorang muslim. Seorang muslim hendaknya bisa menyatukan masyarakat, bukan melakukan provokasi sehingga terjadi pertentangan.

 3. Ini adalah salah satu bentuk cacian, dan seorang muslim dilarang untuk mencaci manusia, hewan, kayu dan semua yang ada di alam raya ini.

4. Manusia tidak mendapat bagian dosa dari para nenek moyangnya. Betapa banyak kita temukan orang kafir yang anaknya muslim, bahkan sebagian orang tua sahabat Nabi adalah kaum musyrik. 

-Dikutip dari kitab "Khitabunal Islami fi 'Ashril 'Aulamah" karya Dr. Yusuf al- Qaradhawi‎

Allah berfirman tentang kaum Yahudi dalam Surat Al-Baqarah ayat 65:

وَ لَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِئِيْنَ

“Dan sesungguhnya telah Kami ketahui orang-orang yang melanggar perintah pada hari Sabtu, maka Kami firmankan : Jadilah kamu kera-kera yang dibenci !”

Dan juga di Surat Al-Maidah ayat 60:

قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.

Lalu apakah kedua ayat ini bisa dijadikan landasan untuk menyebut kaum Yahudi sebagai keturunan kera dan babi? Jawabannya tidak, karena:

1. Kera dan babi yang disebutkan Allah pada ayat di atas tidak memiliki keturunan, sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Allah tidak memberikan keturunan kepada yang berubah bentuk. Dan (hal ini) telah terjadi dahulunya (pada orang-orang yang berubah menjadi) kera dan babi."

2. Bahasa seperti ini sangat provokatif dan bukan sifat seorang muslim. Seorang muslim hendaknya bisa menyatukan masyarakat, bukan melakukan provokasi sehingga terjadi pertentangan.

3. Ini adalah salah satu bentuk cacian, dan seorang muslim dilarang untuk mencaci manusia, hewan, kayu dan semua yang ada di alam raya ini.

4. Manusia tidak mendapat bagian dosa dari para nenek moyangnya. Betapa banyak kita temukan orang kafir yang anaknya muslim, bahkan sebagian orang tua sahabat Nabi adalah kaum musyrik.

-Dikutip dari kitab "Khitabunal Islami fi 'Ashril 'Aulamah" karya Dr. Yusuf al- Qaradhawi
- https://www.facebook.com/suara.alazhar