Minggu, 22 September 2013

Pandangan Materialistis Terhadap Kehidupan Dan Bahaya-Bahayanya


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan


Ada dua sudut pandang terhadap kehidupan dunia. Pertama : Pandangan Materialistis. Kedua : Pandangan Yang Benar. Masing-masing pandang tersebut memiliki pengaruhnya sendiri.

Makna Pandangan Materialistis Terhadap Dunia
Yaitu pemikiran seseorang yang hanya terbatas pada bagaimana mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, sehingga apa yang diusahakannya hanya seputar masalah tersebut. Pikirannya tidak melampui hal tersebut, ia tidak mempedulikan akibat-akibatnya, tidak pula berbuat dan memperhatikan masalah tersebut. Ia tidak mengetahui bahwa Allah menjadikan dunia ini sebagai ladang akhirat. Allah menjadikan dunia ini sebagai kampung beramal dan akhirat sebagai kampung balasan. Maka barangiapa mengisi dunianya dengan amal shalih, niscaya ia mendapatkan keberuntungan di dua kampung tersebut. Sebaliknya barangsiapa menyia-nyiakan dunianya, niscaya ia akan kehilangan akhiratnya.

Allah berfirman.

خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” [Al-Hajj/22 : 11]

Allah tidak menciptakan dunia ini untuk main-main, tetapi Allah menciptakannya untuk suatu hikmah yang agung.

Allah berfirman.

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. [Al-Mulk/67 : 2]

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya” [Al-Kahfi/18 : 7]

Demikianlah, Allah menjadikan di atas dunia ini berbagai kenikmatan sesaat dan perhiasan lahiriyah, baik berupa harta, anak-anak, pangkat, kekuasaan dan berbagai macam kenimatan lain yang tidak mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di antara manusia –dan jumlah mereka mayoritas- ada yang menyempitkan pandangannya hanya pada lahiriyah dan kenikmatan-kenikmatan dunia semata. Mereka memuaskan nafsunya dengan berbagai hal tersebut dan tidak merenungkan rahasia di balik itu. Karenanya, mereka sibuk untuk mendapatkan dan mengumpulkan dunia dengan melupakan amal untuk sesudah mati. Bahkan mereka mengingkari adanya kehidupan selain kehidupan dunia, sebagaimana firman Allah.

وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ

“Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan” [Al-An’am/6 : 29]

Allah mengancam orang yang memiliki pandangan seperti ini terhadap dunia, sebagaimana firman-Nya.

إِنَّ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ﴿٧﴾أُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tentram dengan kehidupan dunia itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah Neraka, disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan” [Yunus/10 : 7-8]

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan perkerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Hud/11 :15-16]

Ancaman di atas berlaku bagi semua yang memiliki pandangan materailistis tersebut, mereka yang memiliki amal akhirat, tetapi menghendaki kehidupan dunia, seperti orang-orang munafik, orang-orang yang berpura-pura dengan amal perbuatan atau orang-orang kafir yang tidak percaya terhadap adanya kebangkitan dan hisab (perhitungan amal). Sebagaimana keadaan orang-orang Jahiliyah dan aliran-aliran destruktif (merusak) seperti kapitalisme, komunisme, sekulerisme dan atheisme. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui nilai kehidupan dan pandangan mereka terhadap dunia tidak lebih dari pandangan binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Sebab mereka menafikal akal mereka, menundukkan kemampuan mereka dan menyia-nyiakan waktu mereka yang tidak akan kekal untuknya, juga mereka tidak melakukan amalan untuk tempat kembali mereka yang telah menunggu, dan mereka pasti menuju kesana. Adapun binatang, maka tidak ada tempat kembali yang menunggunya, juga tidak memiliki akal untuk berfikir seperti manusia, karena itu Allah berfirman tentang mereka.

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” [Al-Furqan/25 : 44]

Allah menyifati orang-orang yang memiliki pandangan ini dengan sifat tidak memiliki ilmu.

Allah berfirman.

وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾ يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” [Ar-Rum/30 : 6-7]

Meskipun mereka ahli di bidang berbagai penemuan dan isndustri, tetapi pada hakikatnya mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak pantas mendapatkan julukan alim, sebaba ilmu mereka tidak lebih dari ilmu lahiriyah kehidupan dunia, sedangkan ia adalah ilmu yang dangkal, sehingga memang tidak selayaknya para pemiliknya mendapat gelar mulia, yakni gelar ulama, tetapi gelar ini diberikan kepada orang-orang yang mengenal Allah dan takut kepadaNya, sebagaimana firmanNya.

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama” [Fathir/35 : 28]

Termasuk pandangan materialistis terhadap kehidupan dunia ini adalah apa yang disebutkan Allah dalam kisah Qarun dan kekayaan yang diberikan kepadanya.

Allah befirman.

فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ ۖ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Maka keluarlah Qarun kepada kaummnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia. ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun sesunggunya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar” [Al-Qashash/28 : 79]

Mereka mengangan-angankan dan menginginkan memiliki kekayaan seperti Qarun seraya menyifatinya telah mendapatkan keberuntungan yang besar, yakni berdasarkan pandangan mereka yang materialistis. Hal ini seperti keadaan sekarang di negara-negara kafir yang memiliki kemajuan di bidang teknologi industri dan ekonomi, lalu umat Islam yang lemah imannya memandang mereka dengan pandangan kekaguman tanpa melihat kekufuran mereka serta apa yang bakal menimpa mereka dari kesudahan yang buruk. Pandangan yang salah ini lalu mendorong mereka mengagungkan orang-orang kafir dan memuliakan mereka dalam jiwa mereka serta menyerupai mereka dalam tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang buruk. Ironinya, mereka tidak meniru dalam kesemangatan mereka dalam mempersiapkan kekuatan serta hal-hal bermanfaat lainnya, misalnya di bidang penemuan-penemuan dan teknologi.

Pandangan Yang Benar Terhadap Kehidupan
Yaitu pandangan yang menyatakan bahwa apa yang ada di dunia ini, baik harta kekuasaan dan kekuatan materi lainnya hanyalah sebagai sarana untuk amal akhirat. Karena itu, pada hakikatnya dunia bukanlah tercela karena dirinya, tetapi pujian atau celaan itu tergantung pada perbuatan hamba di dalamnya. Dunia ini adalah jembatan penyebrangan menuju akhirat dan daripadanya bakal menuju Surga. Dan kehidupan baik yang diperoleh penduduk Surga tidak lain kecuali berdasarkan apa yang telah mereka tanam ketika di dunia. Maka dunia adalah kampung jihad, shalat, puasa, dan infak di jalan Allah, serta medan laga untuk berlomba dalam kebaikan. Allah berfirman kepada penduduk Surga.

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

“(Kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (ketika di dunia)” [Al-Haqqah : 24]

[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish-Shaffits Tsalis Al-Ali, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Penerjemah Ainul Harits Arifin Lc, Penerbit Darul Haq - Jakarta]

Sumber:  http://almanhaj.or.id

Islam Dan Liberalisme


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Liberalisme, adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris, yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa Inggrisnya, atau “liberte” menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas. [1] Istilah ini datang dari Eropa. Para peneliti, baik dari mereka ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini. Namun seluruh definisi, kembali kepada pengertian kebebasan dalam pandangan Barat. The World Book Encyclopedia menuliskan pembahasan Liberalism, bahwa istilah ini dianggap masih samar, karena pengertian dan pendukung-pendukungnya berubah dalam bentuk tertentu dengan berlalunya waktu.[2]

Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.[3]

ASAS PEMIKIRAN LIBERAL
Secara umum asas liberalisme ada tiga. Yaitu kebebasan, individualisme, rasionalis (‘aqlani, mendewakan akal).

Asas Pertama, Kebebasan : Yang dimaksud dengan asas ini, ialah setiap individu bebas melakukan perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat sendiri, dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian, liberalisme merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu memisahkan dari agama dan membolehkan lepas dari ketentuan agama. Sehingga asas ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbuat, berkata, berkeyakinan, dan berhukum sesukanya tanpa dibatasi oleh syari’at Allah. Manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia terbebas dari hukum, dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’âm/6:162-163]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [al-Jâtsiyah/45:18].[4]

Asas Kedua, Individualism (al-fardiyah) : Dalam hal ini meliputi dua pengertian.
Pertama, dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya hingga abad ke-20 Masehi. Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan pemahaman baru dalam agama Liberal yang dikenal dengan pragmatisme.[5]

Asas ketiga, yaitu rasionalisme (aqlaniyyun, mendewakan akal). Dalam artian akal bebas dalam mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya.

Hal ini dapat tampak dari hal-hal berikut ini:
1. Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar materi yang dapat disaksikan (abstrak). Dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, panca indera dan percobaan.

2. Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat sesuatu kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga –enurut mereka- manusia sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk memastikan sesuatu. Ini dinamakan ideology toleransi (Mabda’ at-Tasâmuh) [6]. Hakekatnya adalah menghilangkan komitmen agama, karena ia memberikan manusia hak untuk berkeyakinan semaunya dan menampakkannya serta tidak boleh mengkafirkannya walaupun ia seorang mulhid (menentang Allah dan RasulNya). Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dalam hal ini, sebab negara –versi mereka terbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap orang. Hal ini menuntut negara terpisah total dari agama dan madzhab pemikiran yang ada. (Musykilah al-Hurriyah hal 233 dinukil dari Hakekat Libraliyah hal 24). Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya beriman kepada perkara kasat mata. Sehingga menganggap agama itu tidak ilmiyah dan tidak dapat dijadikan sumber ilmu. Ta’alallahu ‘Amma Yaquluna ‘Uluwaan kabiran (Maha Tinggi Allah dari yang mereka ucapkan).

3. Undang-undang yang mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan –versi seluruh kelompok liberal – adalah undangundang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang merdeka dan jauh dari syari’at Allah. Sumber hukum mereka dalam undang-undang dan individu adalah akal.

ISLAM DAN LIBERAL
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa Liberal hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang dibangun di atas sikap berpaling dari syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala , kufur kepada ajaran dan petunjuk Allah dan rasulNya n serta menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga memerangi orang-orang sholih dan memotivasi orang berbuat kemungkaran, kesesatan pemikiran dan kebejatan moral manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Sebuah kebebasan yang hakekatnya adalah mentaati dan menyembah syeitan.

Lalu bisakah Islam bergandengan dengan Liberal?

UPAYA MENYATUKAN ISLAM & LIBERAL
Pemikiran Liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin melalui para penjajah kolonial. Kemudian disambut orang-orang yang terperangah dengan modernisasi Eropa waktu itu. Muncullah dalam tubuh kaum muslimin madrasah al-Ishlahiyah (aliran reformis) dan madrasah at-tajdîd (aliran pembaharu) serta al-’Ashraniyûn (aliran modernis) yang berusaha menggandengkan Islam dengan liberal ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina para orientalis di negara-negara Eropa.

Upaya menyatukan liberalisme ke dalam Islam sudah dilakukan oleh gerakan ‘Islahiyah’ pimpinan Muhammad ‘Abduh dan para muridnya. Kemudian pada tahun enampuluhan, muncullah gerakan pembaru (madrasah attajdid) dengan tokoh seperti Rifa'ah ath-Thahthawi dan Khairuddîn at-Tunîsi. Pemikiran mereka ini tidaklah satu. Namun mereka menggabungkan ajaran Islam dengan modernisasi Barat dan merekonstruksi ajaran agama agar sesuai dengan modernisasi Barat (orang-orang kafir). Oleh karena itu, pemikiran mereka berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan mereka terhadap modernisasi di Barat dan kemajuannya yang terus berkembang. Demikian juga, mereka sepakat menjadikan akal sebagai sumber hukum sebagaimana akal juga menjadi sumber hukum dalam ajaran Liberal. Dari sini jelaslah kaum reformis dan modernis ini ternyata memiliki prinsip dan latar belakang serta orientasi pemikiran yang berbeda-beda. Meskipun mereka sepakat untuk mengedepankan logika akal daripada al-Qur‘ân dan Sunnah dan pengaruh kuat pemikiran Barat.

Ada di antara mereka yang secara terus terang mengungkapkan niat mereka menghancurkan Islam karena terpengaruh pemikiran nasionalisme sekuler atau sayap kiri komunis. Ada yang berusaha memunculkan keraguan ke dalam tubuh kaum muslimin dengan berbagai istilah bid’ah yang sulit dicerna pengertiannya. Atau dengan cara membolakbalikkan fakta dan realitas ajaran Islam sejati dengan pemikiran dan gerakannya. Mereka menempatkan orang sesat dan menyimpang sebagai pemikir yang bijak dan ksatria revolusioner. Sementara para ulama Islam ditempatkan sebagai kalangan yang kolot konservatif dan tidak tahu hak asasi manusia.[7]

Yang lebih menyakitkan lagi adalah ungkapan sebagian mereka yang menuduh orang yang kembali merujuk nash syariat sebagai orang yang kolot dan paganis (musyrik). Prof. Fahmi Huwaidi dalam artikelnya yang berjudul Watsaniyûn Hum ‘Abadatun Nushûsh (Paganis itu adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari’at) menggambarkan hal tersebut sebagai paganism baru (Watsaniyah jadîdah). Hal itu karena Paganisme tidak hanya berbentuk penyembahan patung berhala semata. Karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun paganisme zaman ini telah berubah menjadi bentuk penyembahan symbol dan rumus pada penyembahan nash-nash dan ritualisme. [Lihat Al-’Aqlaniyûn Afrâkh al-Mu’tazilah al-‘Ashriyûn hal.63]

Sebenarnya hakekat usaha mereka ini adalah mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ajaran dan pola pemikiran Barat (westernisasi) dan menghilangkan aqidah Islam dari tubuh kaum muslimin serta memberikan jalan kemudahan kepada musuh-musuh Islam dalam menghancurkan kaum muslimin. Sehingga mereka menganggap aturan liberal dan demokrasi adalah perkara mendesak dan sangat cocok dengan hakekat Islam dan ajarannya serta tidak mengingkarinya kecuali fondamentalis garis keras.

Demikianlah usaha mereka ini akhirnya menghasilkan penghapusan banyak sekali pokok-pokok ajaran Islam dan memasukkan nilai-nilai liberalisme dan humanisme kedalam ajaran Islam dan aqidah kaum muslimin. Karena itu seorang orientalis bernama Gibb menyatakan: “Reformasi adalah program utama dari liberalisme Barat. Kita tinggal menunggu saja semoga orientasi tersebut dari kalangan reformis bisa menjadi semacam managerial modern untuk menggali nilai-nilai liberalisme dan humanisme”.[Menjawab Modernisasi Islam hal 178]

Demikianlah nilai-nilai dan pemahaman liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah l darinya dan dari semua penyeru ajaran ini.

LIBERAL DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Liberalisme adalah pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam. Pemikiran ini menafikan adanya hubungan kehidupan dengan agama sama sekali. Pemikiran ini menganggap agama sebagai rantai pengikat kebebasan hingga harus dibuang jauh-jauh. Para perintis dan pemikir liberal yang menyusun pokok-pokok ajarannya membentuk liberal berada diluar garis seluruh agama yang ada dan tidak seorangpun dari mereka yang mengklaim adanya hubungan dengan satu agama tertentu walaupun yang menyimpang.

Sehingga Liberalisme sangat bertentangan dengan Islam. Tidak sedikit pembatal-pembatal ke-Islaman yang terkandung dalam arus ideologi yang satu ini. Diantaranya:
1. Kekufuran
2. Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala .
3. Menghilangkan aqidah al-Wala dan bara’.
4. Menghapus banyak sekali ajaran dan hokum Islam.

Sehingga para ulama menghukuminya sebagai kekufuran sebagaimana tertuang dalam fatwa Syaikh Sholeh al-Fauzan yang dimuat dalam Harian al-Jazirah, edisi Selasa tanggal 11 Jumada Akhir tahun 1428 H.

ADAKAH ISLAM LIBERAL?
Sungguh amat mengherankan masih juga ada orang yang ingin menggabungkan antara liberal dengan Islam padahal jelastidak mungkin. Sehingga bila ada yang menyatakan, saya adalah muslim liberal atau istilah Jaringan Islam Liberal ini adalah satu perkara yang kontradiktif. Ironisnya orang yang disebut profesor atau intelektual tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang hal ini.
Wallahu al-Hadi ila Shirath al-Mustaqim.

Maraji‘:
1. ‘Al-’Aqlâniyûn Afrâkh al-Mu’tazilah al-‘Ashriyûn, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamîd , cetakan pertama tahun 1413 H, Maktabah al-Ghurabâ al-Atsariyah
2. al-‘Ashraniyyûn Baina Madzâ’im At-tajdîd Wa Mayâdin at-Taghrîb Muhammad Hâmid an-Nâshir dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Menjawab Modernisasi
Islam, terbitan Darul Haq.
3. Dalîl al-‘Uquul al-Hâ`irah Fi Kasyfi al-Mazhâhib al-Mu’âshirah, Hâmid bin ‘Abdillah al-‘Al.
4. Haqîqat Libraliyah Wa Mauqiful Muslim Minha, Sulaimân al-Khirasyi

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Haqîqat Libraliyah Wa Mauqiful Muslim Minha, Sulaiman al-Khirasyi hal 12.
[2]. Dinukil dari Haqîqat Libraliyah, hlm. 16.
[3]. Haqîqat Libraliyah al-Khirasyi hlm. 17 )
[4]. Lihat Dalîl al-‘Uquul al-Hâ`irah Fi Kasyfi al-Mazhâhib al-Mu’âshirah, Hâmid bin ‘Abdillah al-‘Ali hal. 18
[5]. Lihat Haqîqat Libraliyah al-Khirasyi hlm. 17.
[6]. Pemikiran ini disampaikan John Look dalam Risâlah fi at-Tasâmuh (lihat Haqîqat Libraliyah hal 24).
[7]. Lihat tulisan Muhammad Hamid an-nâshir dalam kitab al-‘Ashraniyyûn Baina Madzâ’im At-tajdîd Wa Mayâdin at-Taghrîb dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Menjawab Modernisasi Islam, terbitan Darul Haq hal 174. Juga lihat sebagian pujian mereka kepada golongan Mu’tazilah yang dinukil Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamîd dalam kitab ‘Al-’Aqlâniyûn Afrâkh al-Mu’tazilah al-‘Ashriyûn
hal.61-68.

Sumber:  http://almanhaj.or.id