Ada Kristen Yang Meniru Persis Islam, Dari Shalat, Puasa Pakaian, Bahasa, Sampai Kesehariannya...
Jangan
kaget bila anda menemukan orang yang shalat, berjilbab atau berbaju
muslim dg jubah atau peci, berbahasa arab, kaligrafi arab, dan lainnya
yang sangat mirip dengan budaya Islam. Itulah sekte Kristen Ortodox
Syiria (KOS). Ini cirinya
DASAR-DASAR AJARAN KOS MIRIP ISLAM
1. KOS berpuasa bulan April, 40 hari (shaumil kabir) Untuk mengenang kesengsaraan Kristus.(Meniru Puasa Ramadhan)
2. KOS memiliki puasa sunnah Rabu & Jum’at (Meniru Puasa Senin Kamis Islam)
3. KOS wajib zakat 10% dari penghasilan kotor (Meniru Zakat Fitrah)
4. KOS mewajibkan perempuan berjilbab & jubah menutup aurat hingga mata kaki. Dan yang pria berpeci dan bersarung
JILBABNYA
5. Kitab Injil yang dipertahankan adalah terjemahan Injil Aramic-Arabic bahasa Indonesia.
6. Pengajian KOS juga menggunakan tikar (lesehan), (Meniru gaya tradisional Islam)
7.
Cara Shalat persis Islam, hanya waktunya ada 7 yaitu sa'atul awwal
(shubuh), sa'atuts tsalis (dhuha), sa'atus sadis (Zhuhur), sa'atut
tis'ah (ashar), sa'atul ghurub (maghrib), sa'atun naum (Isya'), dan
sa'atul layl (tengah malam/tahajud)
CARA SHOLATNYA
IMAM SHOLAT JAMA'AH AGAMA KRISTEN
SHOLAT JAMA'AH AGAMAKRISTEN
KITAB KITAB PASHOLATAN AGAMA KRISTEN
KOS menyusup ketengah masyarakat islam, dengan menyamar/menyerupai Islam
1. Mengadakan Musabaqoh Tilawatil Injil (MTI) dengan menggunakan Alkitab/Injil berbahasa Arab (Mirip MTQ Islam)
2. Mengadakan acara rawi dan shalawatan (Mirip pembacaan/pengajian syarah hadits)
PENGAJIAN AGAMA KRISTEN
3. Mengadakan acara Nasyid, bahkan namanya Islami “Amin Albarokah“ & Qasidah Kristen (lirik arab berisi injil)
4. Untuk menjadi pengikut KOS, jama’ah harus menjalani pembaptisan “Abuna Abraham Oo Men”.
6. Terlihat sangat santun & membiasakan berbahasa Arab (Ana, Antum, Syukron, dsb).
7. Membudayakan kaligrafi Kristen
KALIGRAFI KRISTEN
JILBAB IBU IBU KRISTEN
- KOS tidak memakai 12 syahadat Iman Rasuli umat Kristen, diganti ”Qanun al-Iman al-Muqaddas”.
- Penggunaan istilah islami, seperti ”Sayyidina Isa Almasih” (Yesus).
- Mereka juga memakai Injil berbahasa Arab (Alkitab AlMuqaddas
Prinsip
ajaran KOS masih berputar sekitar masalah trinitas, adanya Tuhan bapak,
tuhan anak dan tuhan ibu.- Dan juga Yesus peranakan Maria, memiliki
sifat insaniyah (sifat seperti manusia): tidak tahu musim, (Mar 11: 13),
lemah (Yoh 5:30), takut (Mat 26:37), bersedih (Mat 26:38), menangis
(Yoh 11:35), tidur (Mat 8:24), lapar (Mat 4:2), haus (Yoh 19:28),dsb. Perbedaan Prinsip ajaran Islam dengan Kristen Ortodoks Syiria
1. Islam menolak ketuhanan Yesus (Qs. Al Maaidah 72) dan mendudukan sebagai nabi, sedangkan KOS mengakui Yesus sebagai Tuhan.
2.
Islam berkeyakinan bahwa Tuhan itu tidak punya Ayah & Ibu (Qs. Al
Ikhlash 3), sedangkan KOS berkeyakinan adanya Tuhan bapak, tuhan anak
dan tuhan ibu. Maria sebagai Walidatul ilah (Ibu Tuhan).
3. Islam
memegang teguh kesucian nama & sifat Allah: Allah tidak beranak dan
tidak diperanakkan, Allah Maha Mengetahui, Maha Kuat, Mha Melihat, Tidak
tidur dan tidak serpa dengan makhlukya, dan sebagainya. Sementara KOS
tidak kuasa membendung kekurangan-kekurangan dalam sifat kemanusiaan
Yesus yang tertulis dalam Alkiab.
GEREJA ORANG KRISTEN
LOGO ORGANISASI KRISTEN
MUSABAKQOH TILAWATIL INJIL ( MTI )
Oleh
karena itu kita harus hati-hati sesuatu yang meyakinkan tampilannya,
tetap berpegang pada Ajaran Islam yang murni (Sesuai sunnah-sunnah
nabinya) PANDAI-PANDAILAH BERBHASA ARAB, TAHU ARTINYA DAN TULISANNYA, INSYA ALLAH TIDAK TERJEBAK
JAKARTA (salam-online.com): Tanggal 22 Juni adalah
hari yang bersejarah. Piagam Jakarta ditandatangani. Inti dari Piagam
Jakarta adalah pelaksanaan syariah Islam bagi kaum Muslimin—sebagai
ganti republik ini belum menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.
Tetapi, setelah itu kenyataan berbicara lain. Tanggal 17 Agustus
1945 yang merupakan hari gembira bagi bangsa Indonesia karena
diproklamirkannya kemerdekaan, namun sehari setelah proklamasi, 18
agustus 1945, adalah hari kelam bagi Umat Islam Indonesia. Pada hari
itu kesepakatan antara umat Islam dengan kelompok nasionalis dan
Non-Muslim dikhianati.
Tujuh kata yang menjamin penegakan syariat Islam di Indonesia dihapus. “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dengan penghapusan ini, pembukaan konstitusi yang tadinya disebut
sebagai Piagam Jakarta pun berubah drastis. Sebelumnya, para wakil
kelompok Islam yang menjadi anggota Dokuritsu Zyumbi Tyioosaki atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berusaha keras menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.
Perdebatan alot terjadi sehingga lahirlah kompromi berupa Piagam
Jakarta. Islam tidak menjadi dasar Negara, namun kewajiban bagi para
pemeluknya diatur dalam kontitusi.
BPUPKI kemudiaan menetapkan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Naskah tersebut di tetapkan sebagai Mukaddimah UUD.
Pada tanggal 7 Agustus BPUPKI berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) yang di ketuai oleh Soekarno. Piagam Jakarta
bertahan sebagai Mukaddimah UUD hingga 17 Agustus 1945, karena selang
sehari kemudian dipersoalkan oleh golongan Kristen, yang selanjutnya
dibantu para pengkhianat. Padahal A.A Maramis yang menjadi wakil
Kristen di PPKI sudah setuju dengan piagam tersebut dan ikut
menandatangani. Rekayasa Politik
Suasana Sidang Pembahasan Piagam Jakarta
Kronologi penghapusan Piagam Jakarta cukup misterius. Pada tanggal 18
Agustus Moh. Hatta mengaku ditemui oleh seorang perwira angkatan laut
jepang. Katanya, opsir itu menyampaikan pesan berisi “ancaman” dari
tokoh Kristen di Indonesia timur. Jika tujuh kata dalam Sila Pertama
pembukaan (Ketuhanan,dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dihapus, mereka akan memisahkan diri dari Indonesia merdeka.
Hatta dan Soekarno, yang memang termasuk kelompok sekuler,kemudian membujuk anggota PPKI dari kelompok Muslim untuk menyetujui penghapusan tujuh kata itu. Di antara mereka hanya Ki Bagus Hadi Kusumo yang bersikeras tak mau. Menurut Ki Bagus, itu berarti mencederai gentlemen agreement (Kesepakatan di antara para pria terhormat)
yang sudah mereka sepakati bersama. Soekarno dan Hatta kemudian
menyuruh Tengku Moh. Hassan (anggota PPKI dari Aceh) dan Kasman
Singodimedjo (Anggota Muhammadiyah seperti Ki Bagus) untuk membujuk Ki
Bagus. Kasman-lah yang berhasil meyakinkan, terutama dengan janji
syariat Islam akan masuk kembali dalam dalam konstitusi daerah setelah
MPR terbentuk enam bulan kemudian. Dan, kenyataannya, Soekarno ingkar
janji. Para pemimpin Islam kena tipu mulut manisnya Soekarno. Jadi,
kelak, itulah salah satu alasan utama yang melatarbelakangi timbulnya
perjuangan DI-TII pimpinan Kartosuwirjo. Kelak Kasman sangat menyesali peran dalam penghapusan tujuh kata tersebut. Ternyata
hal tersebut berujung pada nasib tragis umat Islam di Indonesia yang
mayoritas tetapi tidak boleh menjalankan syariat di dalam negeri
sendiri. Kabarnya, Kasman Singodimedjo, selalu menangis jika teringat perannya membujuk Ki Bagus. Misteri Opsir Jepang
Pertanyaan pertama dan kedua agak sulit dijawab. Sampai wafatnya,
Hatta tak pernah membuka mulut siapa pemberi dan penyampai pesan itu.
Ia mengaku lupa (atau pura-pura lupa, ada juga dugaan itu fiktif, red)
siapa nama opsir jepang tersebut. Ada beberapa spekulasi yang menyebut
bahwa pemberi pesan itu adalah dr. Sam Ratulangi, tokoh krsten dari
Sulawesi utara. Kini namanya diabadikaan sebagai nama universitas di
Manado. Artawijaya, dalam Peristiwa 18 Agustus 1945:“Pengkhianatan Kelompok Sekuler Menghapus Piagam Jakarta”, menguraikan beberapa teori yang mungkin bisa menjawab pertanyaan di atas. Pertama, soal Opsir Jepang, Artawijaya mengambil teori Ridwan Saidi, seperti dikutip dari Dr Sujono Martoesewojo dkk, dalam bukunya “Mahasiswa ’45 Prapatan 10”.
Menurut Ridwan, anggapan bahwa ada opsir jepang yang datang ke rumah
Hatta pada petang hari tanggal 18 Agustus 1945 kemungkinan karena
kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang menemani
Piet Mamahit menemui Hatta memang berpostur tinggi, rambut pendek, mata
sipit, dan suka berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang
kemungkinan dikira Opsir Jepang oleh Hatta. (Ini aneh. Jika betul Hatta
mengira Slamet sebagai opsir Jepang, apa dia, Hatta, tidak bertanya
tentang Slamet, kenapa bisa langsung menyimpulkan sebagai opsir Jepang?)
Lalu untuk apa para mahasiswa itu mendatangi Hatta? Menurut
penelitian Artawijaya, pada saat proklamasi 17 agustus 1945 dibacakan di
jalan Pegangsaan 56, Jakarta, tak ada satu pun tokoh Kristen yang hadir
dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan
dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir dalam acara tersebut. Kenapa tokoh Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu?
Menurut Artawijaya, para aktivis Kristen tengah sibuk kasak-kusuk
melakukan konsolidasi dan lobi lobi politik untuk meminta penghapusan
tujuh kata dalam piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada
pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi
kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan
10, yang mengatakan bahwa siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17
Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia timur, dr Sam
Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka
dengan ditemani dua orang aktivis mahasiswa. Mereka keberatan dengan
isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka, sangat
menusuk perasaan golongan Kristen.
Pada saat itu Latuharhaary sengaja mengajak dr. Sam Ratulangi, I
Gusti ketut Pudja, dan dua aktivis asal Kalimantan timur, agar
seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah timur.
Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan mengharap isu ini juga menjadi tanggung jawab mahasiswa.
Kelompok mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang
para mahasiswa untuk datang menemuinnya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam
pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit dan Iman Slamet.
Setelah berdialog Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta malam itu juga para mahasiswa
menelpon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia timur.
Tokoh dimaksud adalah dr. Sam Ratulangi yang sebelumnya mendatangi
kelompok mahasiswa Prapatan pada pukul 12.00 WIB, tanggal 17 agustus
1945. Ratulangi meminta mereka untuk terlibat dalam penghapusan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan
Hatta mengatur pertemuan pada sore harinya.
Berdasarkan fakta tadi maka keterangan Hatta soal adanya pertemuan
dengan Opsir Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan. Karena itu dalam
sebuah diskusi tentang piagam Jakarata, Ridwan Saidi mengatakan, “Dengan
segala hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi
dalam kasus piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa ia berdusta.”
Sejarawan Ridwan Saidi
Penelitian Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan
di Cornell University AS, yang mengatakan bahwa dalang di balik sosok
misterius opsir Jepang adalah dr. Sam Ratulangi, yang disebut dalam buku
itu sebagai an astune Christian politician from Manado, north Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari Manado, Sulawesi Utara).
Jadi, menurut teori Ridwan Saidi, Hatta menyembunyikan fakta bahwa
yang ia temui bukanlah seorang opsir Jepang. Bisa jadi yang ia temui dan
disangka Opsir Jepang adalah mahasiswa, Iman Slamet, yang fisik dan
pakaiannya mirip orang jepang. Sementara tokoh Indonesia timur yang
membawa pesan itu adalah dr. Sam Ratulangi. (Tapi andai pun benar opsir
Jepang, memangnya kenapa, tetap tak ada juga alasan untuk berkhianat, red). Kaum Islamfobia
Pendek cerita, tujuh kata itu dihapus. Namun tak hanya itu, beberapa perubahan terkait peran Islam dalam kontitusi juga danulir.
Terkait pertanyaan ketiga, benarkah Indonesia Timur yang mayoritas
Kristen tak akan melepaskan diri setelah penghapusan tujuh kata Piagam
Jakarta?
Sejarah kemudian membuktikan, kawasan yang menjadi modal
klaim kelompok Kristen itu ternyata tetap berusaha melepaskan diri dari
naungan NKRI—meskipun tujuh kata sebagai pengorbanan umat Islam itu
sudah dihapus. Tapi, walaupun umat Islam (khususnya para pimpinan dan toloh Islam) kala itu sudah dikhianati, dikadalin dan ditipu, berikutnya tak jua mengambil pelajaran dari pengalaman pahit ini!
Pemberontakan RMS di Maluku dan Permesta di Sulawesi Utara
membuktikan, tanpa tujuh kata tentang Syariat Islam pun, kelompok
Kristen memang tak betah bernaung di bawah NKRI. Kelak kebencian itu
menggelora lagi di kawasan yang sama. Sekian abad dimanja Belanda
sebagai warga kelas satu membuat kelompok Kristen tak sudi dipimpin oleh
Muslim. Faktanya
lagi, pada saat bangsa Indonesia masih berpegang teguh pada UUD 1945
(hasil perubahan yang memenuhi aspirasi kelompok Kristen), toh
orang-orang Kristen dan Katolik dari Timur itu ternyata tetap sangat
kuat keinginannya untuk melepaskan diri dari Indonesia. Munculnya
gerakan RMS, FKM, Kongres Papua, Papua Merdeka, adalah sebagai bukti.
Demikian pula, peristiwa Ambon dan Poso yang dilatarbelakangi rebutan
posisi politik lokal menunjukkan sinyalemen tersebut.
Yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 betul-betul tragedi hitam
bagi umat Islam yang berbuntut panjang di masa depan. Umat Islam tertipu
atau ditipu, dikhianati dan dibohongi! Tapi, sayangnya, dalam banyak
peristiwa umat Islam negeri ini masih juga tak mengambil pelajaran dari
pengalaman sebelumnya. Kerap gagap, kegigit lidah dan mudah
jadi pecundang! Atau mengalah demi toleransi yang padahal golongan lain
(yang minoritas) itu pun tak pernah mau bertoleransi dengan umat yang
mayoritas ini.
Sebagai contoh, umat Islam ingin melaksanakan ajarannya sendiri yang
diatur melalui Piagam Jakarta, lantas apa urusannya kelompok lain
keberatan? Kenapa mereka menolak umat Islam untuk melaksanakan syariat
yang diatur dengan aturan yang dibuat sendiri oleh umat Islam? Begitu
pula dengan sejumlah Perda yang mengatur umat Islam, kenapa harus sewot
jika kaum Muslimin melaksanakan ajarannya sesuai ketentuan dalam Perda
itu?
Belakangan, ketika sejumlah Perda yang mengatur pelaksanaan syariah
untuk umat Islam muncul, kelompok yang dulu menolak Piagam Jakarta,
termasuk kaum sekuler dan liberal saat ini, kembali sewot! Padahal,
Soekarno sendiri dalam dekritnya, 5 Juli 1959, jelas-jelas menyatakan
bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD ’45. Jadi, jika sekarang umat Islam
mengatur dirinya melalui Perda Syariah, itu sah-sah saja, dan sangat
sesuai dengan UUD ’45, karena Piagam Jakarta itu menjiwai UUD.
Itu, baru segitu, kelompok yang sebenarnya tidak benar-benar berjuang untuk Indonesia merdeka (karena mereka lebih suka dipimpin penjajah
yang ideologinya sama), mereka sudah sewot dan menusuk dari belakang.
Nah, bagaimana jika umat Islam negeri ini menggugat dan menagih janji
diberlakukannya Piagam Jakarta atau Dasar Negara yang berdasarkan Islam,
sebagaimana janji Soekarno?
Sebab, walau bagaimanapun, umat mayoritas ini berhak merealisasikan
Piagam Jakarta—lantaran penghapusan tujuh kata dan pengebirian
kesepakatan lainnya dalam UUD 45 itu adalah tidak sah. Piagam Jakarta
itu sudah disepakati dan disahkan pada 22 Juni 1945, dan golongan
Kristen, AA Maramis pun sudah tanda tangan!
Jadi, jika Perda-perda Syariah itu dijalankan, sah-sah saja dan
merupakan hak umat Islam sebagai bagian pelaksanaan Piagam Jakarta.
Sedang penghapusan tujuh kata itu dilakukan secara sepihak tanpa
melibatkan wakil-wakil Islam yang bersama-sama kelompok
nasionalis-sekuler dan wakil dari golongan Kristen menandatangani Piagam
Jakarta pada 22 Juni 1945.
Karenanya, sekali lagi, penghapusan tujuh kata itu tidak sah. Dengan
demikian, Piagam Jakarta itu sampai sekarang tetap berlaku. Apalagi
disebutkan, UUD 45 itu dijiwai oleh Piagam Jakarta. Sementara
Dasar Negara Islam yang dijanjikan belum jua diberlakukan, karena
pengkhianatan, pembohongan dan penipuan yang dilakukan terhadap umat
Islam.
Sumber : http://salam-online.com/2012/06/22-juni-seputar-piagam-jakarta-soekarno-berkhianat-bohong-hatta-berdusta.html
Ada khianat dan dusta, di balik terhapusnya kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang juga Pembukaan UUD 1945. Sikap toleran tokoh-tokoh Islam, dibalas dengan tipu-tipu politik!
Sebagaimana ditulis sebelumnya, sehari pasca pembacaan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam
Piagam Jakarta dihapuskan. Di antara tokoh yang sangat gigih menolak
penghapusan itu adalah tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking
gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan Hatta tak berani bicara langsung
dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar dan canggung, karena bagi
Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati yang tak bisa
ditawar lagi.
Untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim
utusan bernama Teuku Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa
melobi Ki Bagus. Namun, keduanya tak mampu meluluhkan pendirian tokoh
senior di Muhammadiyah ketika itu. Akhirnya, dipilihlah Kasman
Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk melakukan pendekatan
secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk melunakkan sikap dan
pendirian Ki Bagus Hadikusumo.
Dalam memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,
“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari
ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita
bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya
untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia,
terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?!
Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen)
adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan
yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.
Ki Bagus Hadikusumo
Kiai, di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita
musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6
bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang
sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada
waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi
di dalam kondisi kejepit!
Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam
yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata
termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya
Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang
tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta,
bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A
Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu
menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala,
bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa
menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi bukan Ketuhanan
sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang
mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti
kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena
Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-Undang
Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah
bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
KH A Wahid Hasyim
Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai “janji”
yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang
membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukkan ajaran-ajaran
Islam dalam undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.
”Hanya dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus
1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis
pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke
dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus
Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada
suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu
mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan
persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa
kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini
butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan
harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari
awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo
untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut,
meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan
sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang memaksakan kehendak mereka.
Namun sikap toleran dan legowo tokoh-tokoh Islam ternyata dikhianati.
Kasman sendiri akhirnya menyesal telah membujuk dan melobi Ki Bagus
hingga akhirnya tokoh Muhammadiyah itu menerima penghapusan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta. Setelah berhasil melobi Ki Bagus, sebagaimana
diceritakan Kasman dalam Memoirnya, ia gelisah dan tidak bisa tidur.
Kepada keluarganya ia tidak bicara, diam membisu. Ia menceritakan dalam
memoirnya,
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon (Jepang, pen)
telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu
yang ada di Daidan. Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya
dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya
untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan
sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Teuku Muhammad Hasan
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari
kesalahan pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah.
Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya
sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….Malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu
sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, saya
pun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang
harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata milik tentara Indonesia dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh
dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno
yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu.
Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang
perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah
mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat
baik, ingin bangsa ini bersatu.
“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah
mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata, seperti
diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang
cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Muhammad Hatta
Seolah ingin mengobati rasa bersalah atas penyesalannya pada
peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2
Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi
berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata
dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara. Dadanya
seperti meledak, ingin menyuarakan aspirasi umat Islam yang telah
dikhianati.
Dengan lantang dan berapi-api ia berpidato, “Saudara ketua,
satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang
tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu-tentu itu ialah
Dewan Konstituante ini! Justru itulah yang menjadi way out
daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam
pandangan umum babak pertama.
Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki
Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu
itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mempertahankan Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-Undang
Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung
Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putra Aceh menyantuni Ki Bagus
Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan
bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang
tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah
meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke
rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan
seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti
sampai dengan wafatnya…
Soekarno, saat pemilu 1955
Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan
daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam
panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat
dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi
mutlak yang masih hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini…
Saudara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang
terhormat ini, saudara ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut
penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof Mr
Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara
Prof Mr Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Suasana Sidang Pembahasan Piagam Jakarta
Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami
golongan Islam telah difait-a complikan dengan suatu janji dan/atau
harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-Undang Dasar yang baru dan
yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan
Konstituante sekarang ini difait-a complikan lagi dengan
anggapan-anggapan semacam: Undang-Undang Dasar Sementara dan Dasar
Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu
gugat! Sebab fait-a compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya
akan memaksa dada meledak!”
Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat menyengat
dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan
kesalahan yang sangat luar biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara
detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar
negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan
alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan
tak akan ada habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika
negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan
dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil
diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu
Islam. Kasman
mengatakan, “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, ‘si
penggali’ air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya
hampir-hampir seperti Nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat
diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara
tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof (ideologi yang luar biasa, pen)yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”
Begitulah sekelumit kisah di balik penghapusan syariat Islam dalam
naskah Piagam Jakarta. Ada dusta dan khianat dari mereka yang memberi
janji-janji muluk kepada tokoh-tokoh Islam saat itu. Ada upaya-upaya
yang jelas dan tegas untuk memarjinalkan Islam. Menggunting dalam
lipatan, menelikung di tengah jalan, adalah politik yang dilakukan
kelompok-kelompok yang tidak ingin negara ini berlandaskan pada syariat
Islam.
Inilah pelajaran berharga bagi umat Islam, dimana sikap toleran kita
terhadap kelompok minoritas justru dihadiahi janji-janji palsu dan
dusta. Umat Islam harus menagih janji itu, bahwa Piagam Jakarta harus
kembali diberlakukan! (Artawijaya/salam-online.com)
(Arrahmah.com)
- Negara teroris Amerika Serikat tak pernah puas untuk membuat citra
Mujahidin menjadi buruk di mata dunia dengan propaganda dan konspirasi
mereka. Syaikh Usamah bin Ladin (rahimahullah) adalah salah satu Mujahid yang paling ditakuti dan diincar oleh Amerika dan antek-anteknya.
Meskipun Syaikh Usamah telah meninggal dunia, dan mereka sendiri
yang mengklaim telah membunuhnya, mereka juga belum puas untuk
menyebut-nyebut nama Usamah bin Ladin, tentu saja kebanyakan perkataan
mereka adalah menghina, menuduh dan mengolok-olok Syaikh Usamah. Kali
ini, Amerika ingin membuat sosok As Syahid (insya Allah) tersebut
menjadi bahan tertawaan dan olok-olokan melalui sebuah film horor
berjudul "Osombie: The Axis of Evil Dead".
Film "Osombie" ini disutradarai oleh seorang wanita Amerika yang sering menyutradari film Hollywood bernama Kathryn Bigelow yang dikenal dengan film-film horor-nya, dan Kynan Griffin adalah produser film ini.
Jika dilihat dari trailer film ini, ceritanya, kabar tentang kematian
Syaikh Usamah adalah salah karena ia bangkit dari kuburnya menjadi
zombie yang menyeramkan dan akan mengancam dunia, lalu NATO membentuk
sebuah tim unit pasukan khusus untuk menghentikannya. Kemudian
pertempuran pun terjadi antara "zombie" dan pasukan NATO.
Trailer ini benar-benar memperlihatkan adegan yang sangat konyol dan
sangat mengolok-olok Mujahidin serta ada beberapa adegan vulgar di
dalamnya. Seorang Ulama Mujahid yang sangat dihormati digambarkan
sebagai sosok zombie dengan wajah mengerikan dan sosok yang jahat.
Griffin mengatakan kepada ABC News, beberapa waktu lalu, bahwa "kami baru saja memiliki banyak kesenangan dengan film ini". "Kami memiliki beberapa orang-orang makeup khusus efek hebat yang telah melakukan banyak pekerjaan Hollywood. Banyak tindakan, banyak kekerasan zombie," tambah Griffin.
Menurut Griffin, naskah panjang untuk film ini telah ditulis sebelum
pemimpin al-Qaeda tersebut belum terbunuh pada bulan Mei tahun lalu.
Kabarnya, pengambilan gambar film ini dilakukan di Utah, Amerika
dengan membuat latar layaknya di Afghanistan oleh perusahaan produksi
independen yang memita sumbangan orang-orang untuk menyelesaikan film
konyol ini. Sementara tag line film ini berbunyi "Bin Laden Will Die Again" dan dirilis pada musim panas tahun ini.
Di sisi lain, Peter King, anggota Kongres daru partai Republik
mengkritik dengan mengatakan, "Ini adalah sebuah film yang sangat
prosedural tentang CIA dan upaya mereka untuk menemukannya (Syaikh
Usamah -red)," dikutip Daily Mail, (10/2/2012) lalu.
"Kami akan shooting film itu di Yordania dan Washington."
Selain mengolok-olok Syaikh Usamah, al-Qaeda, dan Mujahidin pada umumnya, film ini dapat mencuci otak atau brainwashing
masyarakat dunia dalam memandang Mujahidin umumnya dan Syaikh Usamah
pada khususnya, yang tentu akan membuat kaum Muslimin marah terutama
Mujahidin.
Telah menjadi rahasia umum bahwa Amerika dan antek-anteknya selalu
kalah perang melawan Mujahidin, dan sekarang sedang berada di ujung
gerbang kekalahan melawan Taliban di Afghanistan. Beratnya menghadapi
serangan-serangan Mujahidin, telah membuat pasukan salibis frustasi dan
bahkan banyak diantara mereka yang bunuh diri setelah mereka kembali
dari medan tempur akibat depresi selama perang. Oleh karena itu, butuh
bagi Amerika untuk membuat propaganda yang dapat menghibur atau
membangkitkan semangat pasukannya di medan perang, sehingga film semacam
ini dibuat. Bukan kali ini saja Amerika membuat propaganda melalui film
berlatar militer yang menampakkan "kehebatan" pasukannya di dalam
peperangan, telah banyak film-film yang dirilis sebelumnya yang telah
mencuci otak sebagian manusia di dunia bahwa pasukan salib adalah
orang-orang yang kuat, penuh patriotisme dan rela mati demi
"perdamaian", ini belum termasuk propaganda media berita yang hampir
setiap hari memanipulasi kabar di lapangan.
Sementara itu Al-Qaeda sendiri belum mengeluarkan komentar atau
pernyataan terkait film konyol ini. Amerika telah menyulut api
peperangan kian membesar.
(siraaj/arrahmah.com)
Sumber :arrahmah.com/read/2012/07/03/21389-frustasi-kalah-perang-amerika-rilis-film-osombie-yang-menghina-syaikh-usamah-bin-ladin-dan-al-qaeda.html