Jumat, 22 April 2011

Sepotong Roti Penebus Dosa

Abu Burdah bin Musa Al-Asy'ari meriwayatkan, bahwa ketika menjelang wafatnya Abu Musa pernah berkata kepada puteranya: "Wahai anakku, ingatlah kamu akan cerita tentang seseorang yang mempunyai sepotong roti."
Dahulu kala di sebuah tempat ibadah ada seorang lelaki yang sangat tekun beribadah kepada Allah. Ibadah yang dilakukannya itu selama lebih kurang tujuh puluh tahun. Tempat ibadahnya tidak pernah ditinggalkannya, kecuali pada hari-hari yang telah dia tentukan. Akan tetapi pada suatu hari, dia digoda oleh seorang wanita sehingga diapun tergoda dalam bujuk rayunya dan bergelimang di dalam dosa selama tujuh hari sebagaimana perkara yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri. Setelah ia sadar, maka ia lalu bertaubat, sedangkan tempat ibadahnya itu ditinggalkannya, kemudian ia melangkahkan kakinya pergi mengembara sambil disertai dengan mengerjakan solat dan bersujud.

Akhirnya dalam pengembaraannya itu ia sampai ke sebuah pondok yang di dalamnya sudah terdapat dua belas orang fakir miskin, sedangkan lelaki itu juga bermaksud untuk menumpang bermalam di sana, karena sudah sangat letih dari sebuah perjalanan yang sangat jauh, sehingga akhirnya dia tertidur bersama dengan lelaki fakir miskin dalam pondok itu. Rupanya di samping kedai tersebut hidup seorang pendita yang ada setiap malamnya selalu mengirimkan beberapa buku roti kepada fakir miskin yang menginap di pondok itu dengan masing-masingnya mendapat sebuku roti.

Pada waktu yang lain, datang pula orang lain yang membagi-bagikan roti kepada setiap fakir miskin yang berada di pondok tersebut, begitu juga dengan lelaki yang sedang bertaubat kepada Allah itu juga mendapat bahagian, karena disangka sebagai orang miskin. Rupanya salah seorang di antara orang miskin itu ada yang tidak mendapat bahagian dari orang yang membahagikan roti tersebut, sehingga kepada orang yang membahagikan roti itu ia berkata: "Mengapa kamu tidak memberikan roti itu kepadaku." Orang yang membagikan roti itu menjawab: "Kamu dapat melihat sendiri, roti yang aku bagikan semuanya telah habis, dan aku tidak membagikan kepada mereka lebih dari satu buku roti." Mendengar ungkapan dari orang yang membagikan roti tersebut, maka lelaki yang sedang bertaubat itu lalu mengambil roti yang telah diberikan kepadanya dan memberikannya kepada orang yang tidak mendapat bahagian tadi. Sedangkan keesokan harinya, orang yang bertaubat itu meninggal dunia.

Di hadapan Allah, maka ditimbanglah amal ibadah yang pernah dilakukan oleh orang yang bertaubat itu selama lebih kurang tujuh puluh tahun dengan dosa yang dilakukannya selama tujuh malam. Ternyata hasil dari timbangan tersebut, amal ibadat yang dilakukan selama tujuh puluh tahun itu dikalahkan oleh kemaksiatan yang dilakukannya selama tujuh malam. Akan tetapi ketika dosa yang dilakukannya selama tujuh malam itu ditimbang dengan sebuku roti yang pernah diberikannya kepada fakir miskin yang sangat memerlukannya, ternyata amal sebuku roti tersebut dapat mengalahkan perbuatan dosanya selama tujuh malam itu. Kepada anaknya Abu Musa berkata: "Wahai anakku, ingatlah olehmu akan orang yang memiliki sebuku roti itu!"

Siapa YAng Lebih Parah

Seorang santri  mendatangi rumah seorang Kyai di Kampung yangterkenal amat mumpuni dalam ilmu hadits. Tetapi saat ia memasuki rumahkyai dan duduk di ruang tamu, timbullah banyak pertanyaan dalam pikirnya mengapa banyak gambar tertempel di dinding, mulai dari gambar presiden dan wapresnya, hingga gambar keluarganya.

"Wah, kiyai ini konon ahli hadits, tetapi kok tidak mengamalkan hadits" pikir santri  "Saya harus mempertanyakan masalah ini dengan kritis".

Melihat sang tamu duduk termenung, kyai bertanya " Nak , apa yang kamupikirkan ?"

"Saya tuh heran kyai, anda konon dikenal sebagai ahli hadits, tetapimengapa anda masih menempelkan foto-foto itu ?" tanya santri sambilmenunjuk ke arah dinding ." Bukankah itu menyalahi apa yang dinyatakanNabi ? " Tanya santri lagi.

Alih-alih langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan sang santri,Kyai dengan roman muka kaget dan kebingungan, melakukan gerakanseperti mencari-cari sesuatu dari saku baju kokonya, tetapi ia tidakmenemukan sesuatu, ia pun mencari-cari sesuatu dari dompetnya, tetapijuga tidak ada. Santri melihat Kyai dengan wajah bertanya-tanya.

Kyai memanggil pelayannya dan meminta agar istri Kyai mengambilkanuang Rp 50.000, karena ia teringat harus membayar upah kerja kepadatukang.

Saat mendengar alasan kyai yang sibuk- mencari-cari sesuatu, Santriberkata , " Oh pak Kyai, kalau begitu, tak usahlah risau, biar ini saya talangi dulu" kata Santri sambil menanggalkan kopiah hitamnya, kemudian mengambil selembar Senyuman HMS dari lipatan di kopiahnya.

Dengan muka ceria sang Kyai, menerima uang Rp 50.000 itu memandangigambar HMSnya, kemudian memandang ke dinding , laluberkata, " Wah... nak Santri, menjawab pertanyaan anda tentang haditsmemasang gambar, saya sih tidak separah anda , saya hanya memasangdi dinding dan itupun dhohir terlihat orang lain. Sementara anda menempatkan gambar HMS secara khusus, teramat pribadi, dan bahkan di tempat sangat mulya di atas kepala anda ".



Kisah Nabi Musa Dengan Seorang Wanita Pezina

Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan  terhuyung-huyung. Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia  berada dalam dukacita yang mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa hias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah meruyak hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa a.s. Diketuknya pintu pelan- pelan sambil mengucapkan uluk salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam "Silakan masuk".

Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk.  Air matanya berderai tatkala ia Berkata, "Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya.  Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya."
"Apakah dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa a.s. terkejut.
"Saya takut mengatakannya."jawab wanita cantik. "Katakanlah jangan ragu-ragu!" desak Nabi Musa.

Maka perempuan itupun terpatah bercerita, "Saya... telah berzina.
"Kepala Nabi Musa terangkat,hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan,

"Dari perzinaan itu saya pun...lantas hamil. Setelah anak itu lahir,langsung saya... cekik lehernya sampai... tewas," ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya.

Nabi Musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia mengherdik, "Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!"... teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik.

Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan.Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa.

Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, "Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertaubat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?" Nabi Musa terperanjat. "Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?" Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril. "Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada perempuan yang nista itu?"

"Ada!" jawab Jibril dengan tegas. "Dosa apakah itu?" tanya Musa kian penasaran."Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal.

Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina"

Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut. Nabi Musa menyedari, orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sembahyang itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya.

Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya. (Dikutip dari buku 30 kisah teladan - KH Abdurrahman Arroisy)

Dalam hadis Nabi SAW disebutkan : Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur'an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh dengan ibunya di dalam Ka'bah. Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakherat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.

Demikianlah kisah Nabi Musa dan wanita penzina dan dua hadis Nabi, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kita dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban sholat dengan istiqomah.

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubuilaiik.

Rahasia Permata Indah Khalifah Harun Al-rasyid

     Sebahagian orang salih bercerita:

    Saya sudah lama tinggal di Baghdad. Suatu hari ada sebuah rumah yang roboh dan perlu dibaiki secepatnya. Saya pun pergi ke suatu tempat di mana biasanya terdapat para pekerja yang menunggu pekerjaannya. Saya tiba di sana dan mencari-cari pekerja yang rajin dan bagus. Maka saya tertarik kepada seorang anak berumur kira-kira dua belas tahun. la kelihatan tampan namun agak kurus sedikit tubuhnya. Bila saya mengamat-amatinya dan ia pun bertanya:

    "Adakah tuan memerlukan diriku untuk bekerja?" dia bertanya kepadaku.

    "Benar, saya memerlukan tenaga untuk membantuku. Mahukah engkau bekerja denganku pada han ini?" Saya menjawab pertanyaanya.

    "Saya bersedia untuk bekerja, tetapi dengan beberapa syarat," jawabnya.

    "Syarat apakah itu?"

    "Gajiku dalam sehari satu dirham, dan bila datang waktu sholat, izinkanlah saya sholat berjamaah, itulah syaratnya!" jawab anak muda itu.

    "Itu sajakah!" "Saya, itu sahaja," jawabnya lagi. "Baiklah, saya terima syarat itu," tegasku kepadanya. Anak muda itu lalu bekerja dengan memuaskan, hasilnya cukup menggembirakan. Dia tidak tahu mencuri tulang, atau mengelat dengan mencuri masa. Di waktu pagi, bila saya berikannya makanan untuk sarapan, ia menolak dengan alasan bahawa dia sedang berpuasa. Pada saat sholat Zohor, saya benarkan ia pergi berjamaah, kemudian ia kembali semula untuk meneruskan pekerjaannya sehingga menjelang waktu Asar, maka ia pun pergi lagi untuk sholat Asar berjamaah pula, kemudian ia kembali lagi dan bekerja lagi sampai menjelang waktu Maghrib. Saya lihat anak muda ini bukan sahaja tekun dalan kerjanya, namun dia tidak berhenti bekerja, melainkan sesudah masuk waktu Maghrib,di mana dia akan membuka puasanya. Mana orang boleh tahan seperti itu. Sudahlah terus-menerus bekerja, dia berpuasa pula. Saya merasa kasihan kepadanya, lalu saya mendatanginya dan melarangnya bekerja, terlampau sangat.

    "Jangan bekerja terlalu banyak dan sampal lewat Maghrib," kataku menyuruhnya berhenti bekerja. Dia tersenyum, lalu menjawab:

    "Memang saya biasa bekerja sampai menjelang waktu Maghrib," jawabnya bersahaja.

    "Bukan saya tak suka kau bekerja kuat, tapi kasihanlah sedikit pada dirimu itu," saya menasihatinya.

    "Terima kasih tuan," jawabnya lagi.

    Setelah selesai kerjanya dia, terus mengerjakan sholat Maghrib. Kemudian saya datang kepadanya dan menyerahkan gajinya, iaitu sebanyak dua dirham, meskipun janji kita dulu hanya satu dirham.

    "Mengapa dua dirham?" dia bertanyaku.

    "Sebab engkau telah bekerja sampai malam, dan pekerjaanmu cukup memuaskan dan bagus sekali, saya suka kerana itu saya bayar tambahan satu dirham lagi," kataku kepadanya.

    "Tak boleh, kita harus menepati syarat yang telah kita setujui." Saya hairan mengapa dia tidak mahu menerima upahan yang lebih, kalau orang lain mesti dianggapnya bodoh.

    "Tak boleh, kau mesti ambil yang lebih ini!" perintahku dengan suara keras sedikit.

    "Bukan saya tak mahu, tapi saya tak boleh menerimanya, kerana ini adalah telah menyalahi syarat dan janji", jawab anak muda itu lagi.

    Anak muda itu kemudian pergi dari situ dan meninggalkanku. Saya sudah tidak perdulikannya lagi kerana dia menolak juga tambahan yang saya berikan kepadanya itu. Biarkanlah dia sudah, kata hatiku. Suka dialah. Bila menjelang pagi, saya lihat dia tidak datang lagi ke tempatku untuk bekerja. Di mana dia anak muda itu? Mengapa dia tidak datang. Barangkali dia marah, bila saya hendak memaksanya menerima upah yang lebih itu? Saya pun pergi mencari di tempatnya yang semula, namun saya tidak menemukannya di situ. Saya bertanya kepacta teman-temannya, maka saya telah diberitahu bahawa anak muda itu hanya datang ke tempatnya pada hari Sabtu sahaja. Ajaib! Di mana dia pergi harl-hari yang lain? Pada hari Sabtu yang berikutnya, saya kembali mencarinya lagi.

    Memang benar, anak muda itu ada di tempatnya. Saya mengajaknya untuk bekerja kembali dengan syarat yang sama seperti dahulu. Dia datang dan bekerja dengan sungguh-sungguh dan giat, seperti sebelumnya, sekalipun ia tetap dalam keadaan berpuasa. Bila saya bertanya kepadanya tentang hari-hari lainnya, di mana dia? Dia enggan memberitahu dan saya tidak mahu memaksanya, mana tahu dia tidak suka. Pada hari Sabtu ketiga, saya datang mencarinya, di tempat itu, tetapi dia tidak ada pada tempatnya yang biasa. Temannya memberitahuku bahawa ia sedang sakit di sebuah gubuk yang ditumpangkan oleh orang. Saya merasa kasihan kepadanya, bila mendengar dia sedang sakit. Orang dagang rupanya dia, tidak punya rumah tetap. Saya pun pergi untuk menziarahinya, dan saya dapatinya sedang telentang di atas tanah tanpa tikar dan bantal. Semakin sedih hatiku melihat keadaannya yang cukup miskin itu. Namun dia tetap begitu juga, tidak terkesan oleh keadaannya yang sungguh menyayat hati itu. Malah kelihatan wajahnya lebih bercahaya dari biasanya.

    "Anakku!" kataku, "apa khabarmu?"

    "Syukur Alhamdulillah, cuma saya sakit sedikit," jawabnya.

    "Ada sesuatu yang perlu saya tolong?" saya mempelawanya untuk membantu apa pun, jika dia mahu.

    "Ya, kebetulan sekali, memang ada," jawabnya lagi.

    "Apa dia?"

    "Besok pagi di waktu dhuha datanglah ke mari, jika tuan dapati saya sudah mati di sini, tolonglah mandikan saya, kemudian bungkuslah saya dengan bajuku ini, lalu sholati saya dan kuburkanlah saya di tempat ini, semua itu hendaklah tuan yang mengerjakannya sendirian saja! Setelah itu robeklah saku baju saya ini, ambil isinya lalu pergilah ke istana Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan tunjukkan barang itu kepada beliau. Itulah saja pesanan saya kepada tuan. Dan jangan lupa menyampaikan salam saya kepada beliau, dan semoga Allah membalas segala kebaikan tuan." Mendengar keterangan anak muda itu, saya hairan sekali. Siapa dia sebenarnya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid? Apa ada kait-mengaitnya dia dengan Khalifah itu, sehingga kematiannya mesti dilaporkan kepada beliau?.

    "Siapa sebenarnya anak ini?" tanyaku ingin keterangan.

    "Saya hamba Allah!" jawabnya. Saya terus memerhatikan wajahnya dengan penuh tanda-tanya. "Ingat, jangan lupa apa yang saya pesan tadi," tegasnya lagi.

    "Baikiah!" jawabku pendek.

    Kemudian saya pun pergi dari situ meninggalkannya. Pada pagi besoknya saya pergi ke gubuk itu, ternyata memang benarlah anak muda itu telah mati, wajahnya semakin bercahaya dan bibirnya pula tersenyum gembira. Saya pun segera memandikannya dan membungkus mayatnya dengan bajunya, di mana saya terlebih dulu merobek sakunya, dan saya dapati di dalamnya ada sebuah permata besar, yang tentu sekali, sangat mahal harganya. Sesudah itu saya mensholatinya dan menguburkannya berdekatan dengan gubuk itu. Kemudian saya tafakkur sebentar mengingatkan pertemuan anak muda itu denganku, dan bagaimana jujurnya dia dalam tindak-tanduknya. Tentulah dia seorang wali yang besar, yang ramai orang tidak tahu. Kemudian saya pun meninggalkan tempat itu kembali ke rumahku. Untuk beberapa hari saya memikirkan, bagaimana saya dapat sampaikan barang amanat yang berharga itu kepada tuannya. Saya fikir-fikir caranya, sehingga saya teringat bahawa Khalifah Harun Ar-Rasyid kerap melalui suatu tempat untuk melihat-lihat sekitaran pasar. Maka saya pun menunggu di situ beberapa hari, sehingga pada suatu hari benarlah Khalifah Harun Ar-Rasyid sedang melalui di situ di atas tunggannya.

    "Tuanku!" jeritku. Semua pengawalnya terkejut dan cuba menghadangku dari sampai kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid. Mujur Khalifah menunjuk supaya saya dibenarkan datang menghampirinya. "Tuanku! Saya ada suatu amanat untuk Tuanku," kataku dengan penuh hormat.

    "Apa dia?" tanya Khalifah. Saya pun tunjukkan kepadanya permata itu. Melihat permata tersebut, dengan tidak disangka-sangka lagi, Khalifah Harun Ar-Rasyid menjerit sekuat suara, lalu pingsan. Para pengawal berlaku kecoh antara satu dengan yang lain, apabila melihat Khalifahnya pengsan. Saya lalu ditangkap, nasib baik Khalifah segera sedar, saya pun dilepaskannya. Saya diperintah oleh Khalifah untuk mengikutinya ke istana. Rupanya dia tidak jadi hendak meneruskan pesiarannya. Tentulah perkara permata ini sangat penting sekali kepada Khalifah itu. Apabila di istana, saya ditanya oleh Khalifah:

    "Di mana kau dapat permata ini?" tanya Khalifah.

    "Hamba diberikan oleh seorang anak muda yang pernah bekerja dengan saya, Tuanku," jawabku dengan penuh hormat.

    "Baiklah, di mana dia sekarang?" tanya Khalifah lagi.

    "Dia sudah meninggal dunia, Tuanku," jawabku.

    "Sudah meninggal dunia?!"

    "Ya, Tuanku."

    "Innaa Lillaahi Wa Innaa llalhi Rajiuun," ucap Khalifah. "Benar?"

    "Benar, Tuanku. Saya yang menyelenggarakan mayatnya," terangku dengan takut dan bimbang, kerana saya lihat Khalifah berubah mukanya kerana sedih.

    "Aduh!" keluh Khalifah, kemudian dia menangis. Saya tunduk takut dan bimbang sekali. Apa rahsia permata ini? janganlah kerananya saya dihukum Khalifah pula. Nampaknya dia terlalu sedih itu. Saya berdiam di situ tegak menunggu soalan berikutnya daripada Khalifah, sedang pengawal-pengawalnya mengelilingku menjaga jangan sampai saya cuba melarikan diri, agaknya.

    Setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid tenang semula, dia lalu mengatakan kepadaku dengan suara rendah penuh sedih.

    "Cuba kau ceritakan kepadaku, bagaimana kau rnenemui pemilik?" sambil menunjukkan kepada permata yang ditangannya itu. Saya pun menceritakan segala-galanya tentang anak muda itu kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan beliau mendengarkannya dengan tenang, dan kadang-kadang mengalir air matanya. Setelah selesai ceritaku kepadanya, saya dengar katanya:

    "Berbahagialah anakku! Ketahuilah, wahal anakku, aku sungguh menyesal atas apa yang berlaku ke atas dirimu!" Kemudian Khalifah memanggil seseorang dari dalam istana itu. Tidak lama kemudian datang seorang wanita yang agak setengah umur. Melihat saya ada di situ, dia kemudian mengundurkan dirinya semula, tetapi Khalifah Harun Ar-Rasyid mengisyaratkan supaya dia maju dan duduk di sampingnya. Kemudian Khalifah menunjukkan permata itu. Begitu ia melihat permata itu, wanita itu pun menjerit dan jatuh pengsan. Setelah ia sedar semula, ia bertanya:

    "Wahai paduka! Bagaiman paduka dapat permata ini?" Khalifah lalu menoleh kepadaku seraya berkata:

    "Ceritakanlah apa yang kau ceritakan kepadaku tadi!" Saya pun menceritakaan sekali lagi apa yang berlaku di antaraku dengan anak muda itu, satu persatu, sehingga selesai. Sambil mendengar ceritaku itu, sambil menangis wanita itu.

    Kemudian dia lalu menjerit: "Oh anakku! Oh buah hatiku! Betapa rindu ibumu kepadamu selama ini. Oh alangkah bahagianya aku, jika engkau berada di sampingku. Aku dapat memberimu makan dan minum, dan aku dapat menjagamu, dan merawatmu. Khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian berkata kepadaku:

    "Terima kasih banyak kerana kau telah kembalikan amanat ini kepadaku. Bukan itu saja, bahkan kau telah membawa berita ia kepadaku tentang anakku yang menghilangkan diri itu. Dia adalah anakku yang sangat kusayangi, demikian pula ibunya. la selalu mengunjungi para alim-ulama, para guru, para cerdik pandai serta para salihin. Saat beta dinobatkan menjadi Khalifah, ia tidak begitu suka, ia terus menjauhkanku, kemudian melarikan dirinya daripadaku. Tetapi kerap pula dia datang kepada ibunya untuk memberitakan hal dan keadaannya. Saya pernah memberikan permata ini kepada ibunya untuk diserahkan kepadanya, supaya dijualkan bila-blia dia memerlukan wang untuk hidupnya. Tetapi rupanya dia simpan permata ini, dan kini dia kembalikan kepada kami. Bagaimana cara kehidupannya kami tidak tahu. Kami juga tidak tahu tempat tinggalnya, di kota, di rimba, di kampung mana, hanya Tuhan saja yang mengetahuinya. Bertahun-tahun kami menunggunya kembali, tetapi hampa belaka. Kami ingin dia datang menjenguk kami, walau sebentar saja, supaya kami dapat melihat wajahnya, tetapi sekarang hanya beritanya saja yang sampai kepada kami, dan berita itu pula berita yang menyedihkan. Rupanya dia telah meninggalkan kami buat selama-lamanya!" Khalifah lalu menangis sedih, dan saya pun turut menangis sama.

    "Tuanku!! Anakmu itu adalah seorang wali," saya ingin menggembirakan Khalifah. "Ya, memang ke situlah ia menuju," jawab Khalifah. la bertafakur sebentar, kemudian bertanya: "Tunjukkanlah kepada beta di mana kubur anakku itu? Beta ingin menziarahinya." "Baiklah, Tuanku. Hamba bersedia menghantarkan Tuanku ke sana," jawabku. Pada hari yang ditetapkan, saya pun mengantarkan Khalifah bersama rombongannya ke kubur anaknya itu. Khalifah Harun Ar-Rasyid berdiri di atas pusara anaknya dengan sedih dan mengalirkan air mata. Kemudian saya pun meninggalkan mereka di situ dan kembali ke rumahku. Sungguh kejadian itu meninggalkan kesan yang mendalam yang susah hendak dilupakan di dalam hatiku. Saya lalu berdoa: "Ya Allah! Berilah kami taufiq dan hidayah serta pertolonganmu dalam menjalani kehidupan di alam fana ini, dan rahmatilah kami semuanya, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar Lagi Mengasihani!" Amin!

Hamba Yang Banyak Celanya

Syeikh Abdurrahman AI-Muhazzab bercerita pula:

    Sekali peristiwa ketika saya pergi untuk membeli-belah di pasar, saya melalui pasar hamba, dan saya terlihat di sana ada seorang saudagar yang sedang menawarkan seorang hamba, yang usianya masih keeil lagi, katanya berulang kali:

    'Siapakah ingin membeli hamba yang banyak celanya ini?' Kemudian diulangi lagi kata-kata itu berkali-kali. Sudah tentulah tidak ada orang yang mahu membelinya. Saya lalu menghampiri saudagar itu seraya bertanya kepadanya: 'Apakah cela hamba ini?'

    Saudagar itu tidak menjawab, tetapi disuruhnya saya sendiri menanyakan hamba itu tentang keaibannya. Maka saya merenung wajah hamba itu, lalu bertanya kepadanya pula:

    'Apa cela yang ada padamu itu?'

    'Cela hamba sangat banyak,' jawab hamba itu. 'Akan tetapi saya sendiri tidak mengerti cela yang mana satu yang dimaksudkan oleh tuan pemilikku, sehingga dia memberiku gelaran sebagai hamba yang paling banyak celanya.

    Saya berpaling semula kepada pemilik hamba itu dan bertanya sekali lagi: 'Cela yang mana satu yang tuan maksudkan?'

    'Mmm, hamba ini mengidap penyakit gila,' jawab saudagar itu. 'Penyakit gila?' Saya merenung wajah saudagar itu. Dalam hatiku mengatakan tidak mungkin. Orang gila tak akan begini jawabnya.

    'Betulkah engkau mengidap penyakit gila?' tanyaku ingin tahu. 'Begitulah seperti kata tuan pemilikku,' dia menjawab penuh ragu dan tidak jelas.

    'Kalau betul pun, pada saat apakah penyakit itu datang?' tanyaku lagi. 'Adakah setiap hari, atau setiap minggu, atau sebulan sekali? Tolonglah terangkan!'

    'Tuan, bila penyakit itu menggusir di hati hamba, maka berjalanlah la ke seluruh anggota badanku, kemudian ke dalam jiwaku. Maka ketika itu akan berubahlah akalku, kemudian tanpa kurasakan lagi lisanku menyebut-nyebut nama yang paling kucinta'. Akhirnya penyakit itu membuat hatiku benar-benar terpancang kepadaNya. Sementara itu badanku tidak bergerak sedikit pun. Maka dengan sebab itulah, orang bodoh yang melihatku dalam keadaan demikian akan menuduhku 'orang gila', sedang aku sendiri tidak memahami rnengapa orang boleh mengatakan begitu, kerana mungkin dia tidak pernah mengalami apa yang pernah aku alami itu.'

    Mendengar apa yang dikatakan oleh hamba itu, teringat di dalam hatiku, bahawa dia termasuk di antara kekasih Allah. Orang 'bodoh' seperti yang diungkapkan hamba itu memang mementingkan kulit saja, tidak kenal isi. Saya Ialu mendekati pemiliknya dan bertanya: 'Berapakah harganya?'

    'Dua ratus dirham,' jawabnya mahu tak mahu. 'Nah' ini dua ratus dirharn harganya,' sambil menghulurkan wang itu, 'dan ini dua puluh dirham lagi, aku tambah untukmu,' kataku lagi.

    Saya pun mengajak hamba itu pulang ke rumah. Tiba di rumah, saya menyuruhnya masuk, tetapi rnulanya ia enggan, seraya bertanya:

    'Tuan tidak rnempunyai keluarga?!' dia bertanya kepadaku. 'Ada,' 'jawabku pendek.

    'Maaf,' katanya, 'tidak boleh seseorang itu bertemu dengan selain keluarganya sendiri.'

    'Tidak mengapa, aku benarkan kau masuk ke dalam, kataku lagi.

    'Semoga Allah memelihara hamba dari segala dosa,' ujarnya.

    'Tidak mengapalah, biar hamba duduk di luar saja. Sekiranya tuan memerlukan sesuatu, hamba bersedia untuk rnengerjakannya tanpa memasuki rumah.'

    Bagaimana hamba ini? Aku ingat di dalam hati. Kelihatannya dia terlalu warak dan menjaga selok-belok agamanya dengan baik. 'Baiklah, kalau begitu! jawabku kepadanya.

    Saya terus memasuki rumah untuk mengambil makanan dan minuman untuk memberikannya kepada hamba itu, tetapi ia menolaknya dengan alasan ia sedang berpuasa. Pada waktu malam, hamba itu berada sendirian di kamarnya di luar rumah. Saya lihat senyap sahaja tiada berbunyi. Maka pada tengah malam saya keluar untuk mengintipnya, dan saya dapati ia sedang bersholat dengan khusyuknya. Dia tidak sedar saya sedang mengintipnya. Selesai dari sholat ia terus sujud menangis serta berdoa.

    'Ya Allah! Ya Tuhan hamba! Semua raja telah menutupi pintu rumahnya, namun pintu Tuan sajalah yang tetap terbuka luas bagi siapa yang ingin memintamu! 'Ya Tuhan! Bintang-bintang di langit semuanya berkelip-kelipan, mata-mata insan pula sedang tertutup kerana nyenyak dalam tidur, namun Dikaulah Zat yang sentiasa sedar selamanya, tidak pernah mengantuk atau tidur.

    'Ya Allah! Kalau ada seorang sedang berkumpul dengan kekasihnya, maka Dikaulah kekasih bagi orang yang benar-benar mengenal cinta.

    'Ya Allah! Kalau Tuan mengusir hamba, ke manakah hamba akan pergi.

    'Ya Allah! jika Tuan menjauhkan hamba dari pintuMu, siapakah hamba akan mengetuk lagi?

    'Ya Allah! jika Tuan akan menyiksa hamba, memang sepantasnyalah, sebab hamba tergolong orang-orang yang berdosa. Namun, Jika Tuan memberi maaf, memanglah Tuan adalah Maha Pemaaf dan Belas-kasih kepada semua hambaMu, kerana Dikaulah Maha Dermawan!'

    Sesudah itu, anak itu bangun dari sujudnya seraya menangis, lalu mengangkat kepalanya lagi dan berdoa:

    'Ya llahi! KepadaMulah siapa yang dekat denganmu beramal. Dengan kurnia Tuan, selamatkanlah hamba-hambamu yang salih dari kebinasaan. Dengan rahmat Tuan, sedarkanlah hamba-hambamu yang tersesat supaya kembali ke jalan yang lurus. Wahal Zat yang Baik! Berilah hamba kemaafan, berilah hamba maghfirah dan keampunan, sesungguhnya Tuan adalah Zat Pemberi maaf terhadap segala kesalahan hambanya!' Mendengar doa hamba itu, tidak terbayangkan lagi keharuan di hatiku, lalu saya meninggalkan tempat itu, supaya tidak mengganggu kekusyukan hamba itu. Pagi-pagi saya datang untuk menemuinya dan bertanya sapa kepadanya. Saya memberi salam kepadanya seraya bertanya:

    Anakku! Bagaimana tidurmu semalam, tenangkah?' saya pura-pura tanya tidak tahu.

    'Bolehkah tidur mata yang benar-benar takutkan api neraka?' tanya dia kembali kepadaku.

    'Lagi,' kataku hendak mendengar seterusnya.

    'Bolehkah tidur mata yang selalu mengingat perhitungan amal di Mahsyar nanti, serta membayangkan saat dan ketika dihadapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa?' hamba itu kemudian menangis terisak-isak.

    'Anakku! Aku merdekakan dirimu semata-mata kerana Allah,' kataku kepadanya.

    Dia tidak menjawab, tetapi justeru dia semakin menangis. Tidak lama kemudian ia berkata pula: 'Tuan!' katanya kepadaku. 'Hamba dulu mendapat dua pahala, iaitu pahala beribadah dan pahala melayani tuan. Kini satu daripadanya sudah dibebaskan, tinggal satu lagi, iaitu beribadat kepada Tuhan.' 'Ya, saya faham maksudmu itu, sebab itu saya merdekakanmu,' kataku kepadanya lagi.
'Terima kasih, dan semoga Allah menyelamatkan tuan dari api neraka!' doanya untukku pula.
Saya pun memberinya wang untuk keperluannya, dan membenarkan dia pergi, kerana dia sudah menjadi orang merdeka sekarang, Dia lalu mengucapkan setinggi terima kasih lagi kepadaku, tetapi wang yang kuberikannya itu ditolaknya sambil berkata:

    'Tuhan yang memberiku rezeki sewaktu hamba di perut ibu, Dialah nanti yang akan menanggung rezeki hamba saat hamba berada di atas buminya ini!' Hamba itu kemudian pergi meninggalkanku, dan sesudah itu saya tidak pernah lagi bertemu dengannya. 'Ya Allah! Berilah hambamu ini taufiq dan hidayah, sebagaimana Dikau telah menganugerahkannya kepada para kekasih dan orang pilihanmu, Amin.

Meninggalnya Iblis La'naTULLOH A'laih

Di hari kiamat kelak malaikat maut akan membentak kepada Iblis: "Berhentilah kamu Iblis laknat dan rasalah kepedihan maut sebagaimana yang dirasai oleh orang-orang  yang engkau sesatkan dalam beberapa abad yang kau hidup dan inilah hari yang ditentukan oleh Allah terhadap kamu, maka kemanakah kamu hendak lari?."

    Apabila Iblis mendengarnya maka ia cuba lari tetapi kemana sahaja ia pergi malaikat maut tetap berada di hadapannya. Tidak ada satu tempat pun untuk ia bersembunyi. Kemudian ia berlari mendapatkan kubur Nabi Adam sambil berkata: "Disebabkan kamulah aku mendapat laknat." Kemudian Iblis bertanya kepada malaikat maut: "Minuman dan seksaan apakah yang akan dikenakan terhadapku?" Maka jawab malaikat: "Kamu akan diberi minum dari Neraka Ladha, seksa yang akan kamu terima serupa dengan siksa ahli neraka dan berlipat kali ganda."

    Mendengar hal itu maka Iblis pun berguling di atas tanah sambil menjerit sekuat suaranya, kemudian ia berlari dari barat ke timur dan akhirnya sampai ke tempat yang mula-mula diturunkan. Disitu dia dihalang oleh malaikat Zabaniah dengan rantai di tangannya.

    Tatkala itu bumi bagaikan api kerana dikerumuni oleh malaikat Zabaniah yang menikam dengan bantulan dari Neraka Ladha sehingga Iblis merasakan seksa sakaratul maut. Disaat itu akan dipanggil Nabi Adam dan Siti Hawa untuk melihat Iblis. Maka berdoalah mereka: "Ya Allah, sesungguhnya engkau telah menyempurnakan nikmat-Mu kepada kami."

Musthafawiyah: Perannya Yang Tak Terlupakan

       Pesantren Musthafawiyah, yang didirikan sekitar tahun 1912 adalah salah satu pesantren tertua dan terbesar di bumi nusantara, tak dapat dipungkiri bahwa pwsantren ini begitu berperan dalam pengembangan agama islam di indonesia, khususnya di propinsi sumatra utara. pesatren ini didirikan oleh seorang ulama panutan di sumatra utara yaitu Syekh Musthafa Husein Nasution, beliau merupakan orang Batak Mandailing asli. di tahun 1912 setibanya beliau dari Makkah setelah sekian lama menimba ilmu di kota suci itu, tepatnya Ma'had Sholatiyah yang terkenal di Makkkah, beliau kemudian mendirikan pesantren ini yang mula-mula beliau dirikan di desa Tanobato kecamatanLembah Sorik Marapi kabupaten Mandailing Natal. namun Pada tahun 1915 disebabkan sungai Aek Singolot meluap dan menggenangi sebagian besar wilayah desa Tanobato maka Mustahafawiyah pun di pindahkan ke desa Purba Baru sampai dengan sekarang.
      Tidak sampai satu tahun lagi usia Musthafawiyah akan mencapai satu abad, semoga semakin bertambah usianya semakin bertambah pula para Ilmuan-ilmuan islam yang di keluarkannya. dan semoga para Alumni-alumni dari pesantren ini benar-benar mampu dan mengamalkan ilmunya dalam masyarakat sekaligus menjadi panutan khususnya dalam hal keagamaan.
   
     Pesantren ini telah menelurkan Ratusan ribu Alumni dari semenjak 1912, dan Alhamdulillah telah melaksanakan Amanah-amanah penting Musthafawiyah untuk mengembangkan keislaman di Masyarakat, dan tidak sedikit juga yang sudah terjun di kancah pemerintahan. atau minimal para alumni-alumni ini akan menjadi tokoh agama atau panutan agama di desanya masing-masing. ini dapat dibuktikan bahwa kebanyakan tokoh-tokoh agama di desa-desa khususnya sumatra utara adalah para Alumnus Mustahafawiyah.
     Harapan kita, semoga kedepannya pesantren ini akan semakin berperan penting dalam pengembangan ilmu keislaman di indonesia, dan akan tetap berperan kuat dalam mempertahankan Aqidah Ahlissunnah Waljama'ah. dan semoga tidak terkena virus modernisasi islam yang sekarang ini marak kita saksikan.
                                                                                               
                                                                                                                     by : wong clik
                                                                                                                        Haru lubis


Enam Persimpangan

     Abu Bakar r.a. berkata, " Sesungguhnya iblis berdiri di depanmu, jiwa di sebelah kananmu, nafsu di sebelah kirimu, dunia di sebelah belakangmu dan semua anggota tubuhmu berada di sekitar tubuhmu. Sedangkan Allah di atasmu. Sementara iblis terkutuk mengajakmu meninggalkan agama, jiwa mengajakmu ke arah maksiat, nafsu mengajakmu memenuhi syahwat, dunia mengajakmu supaya memilihnya dari akhirat dan anggota tubuh menagajakmu melakukan dosa. Dan Tuhan mengajakmu masuk Syurga serta mendapat keampunan-Nya, sebagaimana firmannya yang bermaksud, "....Dan Allah mengajak ke Syurga serta menuju keampunan-Nya..."

Siapa yang memenuhi ajakan iblis, maka hilang agama dari dirinya. Sesiapa yang memenuhi ajakan jiwa, maka hilang darinya nilai nyawanya. Sesiapa yang memenuhi ajakan nafsunya, maka hilanglah akal dari dirinya. Siapa yang memenuhi ajakan dunia, maka hilang akhirat dari dirinya. Dan siapa yang memenuhi ajakan anggota tubuhnya, maka hilang syurga dari dirinya.
Dan siapa yang memenuhi ajakan Allah S.W.T., maka hilang dari dirinya semua kejahatan dan ia memperolehi semua kebaikan."

Iblis adalah musuh manusia, sementara manusia adalah sasaran iblis. Oleh itu, manusia hendaklah sentiasa berwaspada sebab iblis sentiasa melihat tepat pada sasarannya.