Rabu, 12 Desember 2012
Oleh: Nur Aminah
ALAM Melayu adalah wilayah di mana negara Indonesia dan Malaysia berada. Istilah Alam Melayu lebih popular di Malaysia, sementara istilah Nusantara sering digunakan di Indonesia. Meski demikian, kedua istilah itu pada asalnya adalah sama.
Dalam konteks Alam Melayu-Nusantara tercetus hubungan persamaan sebagai “bangsa serumpun” antara Indonesia dengan Malaysia sejak zaman berzaman. Secara sosial-politik-ekonomi-kultural, sejak awal Semenanjung Melayu dan Sumatera sudah merupakan bagian yang integral.
Raja Melaka berasal dari Sumatera (Palembang), Kerajan Riau-Johor kadang-kadang berpusat di Sumatera kadang-kadang di Semenanjung. Sedang Negeri Sembilan adalah cabang kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagar Ruyung, Sumatera. Mayoritas dari orang Melayu di Semenanjung adalah berasal dari suku-suku bangsa di Sumatera, khususnya Minangkabau, Kerinci, Palembang, Jambi, Mandailing, Melayu Sumatera dan Aceh. Bahkan juga dari Jawa dan Sulawesi (Bugis).
Sejarah mencatat, Malaya dijajah oleh Inggris (orang Malaysia menyebutnya British, red) sementara Indonesia oleh Belanda. Dalam mengeruk alam Melayu, Inggris mendatangkan banyak tenaga buruh dari India dan China, sehingga pada suatu masa tertentu jumlah kedua “jentera ekonomi” penjajahan Inggris ini pernah melampaui jumlah kaum Bumiputera (pribumi).
Di Indonesia, perjuangan kemerdekaan ditujukan terhadap penjajah Belanda dan talibarutnya. Perang meletus. Dalam perang kemerdekaan itu (1945 -1949), banyak terjadi saling tolong menolong antara rakyat Melayu Semenanjung dan rakyat Sumatera, saling menyeberangi Selat Melaka, dan menyelundukpan senjata dan keperluan peperangan lain.
Republik Indonesia mengistiharkan kemerdekaan tahun 1945. Dan 12 tahun kemudian, (1957) Malaya pula memperolehi kemerdekaan dari Inggris.
Sejarah Hubungan Indonesia-Malaysia
Hubungan Indonesia dengan Malaya, setelah kemerdekaan Persekutuan Tanah Melayu, lebih banyak diwarnai oleh “perbedaan- pertentangan”. Setidaknya ada dua faktor utama yang berada di belakang keadan ini. Pertama faktor “Tunku Vs Soekarno” dan faktor “perang dingin antara kapitalis dan komunis dunia”.
Latar belakang sosial, kultural dan politik kedua tokoh ini, antara Tunku dan Bung Karno sangat berbeda. Tunku adalah anak Sultan Kedah dari perempuan Thai. Beliau diasuh dan hidup senang dalam lingkungan istana, terdidik dalam sistem pendidikan dan budaya Inggris. Mendapat ijazah hukum dan perundang-undangan dari sebuah universitas di Inggris. Tidak bergaul dengan rakyat dan berpandangan liberal.
Sementara Soekarno adalah anak seorang priyayi Jawa dengan seorang perempuan kasta tinggi Bali. Dari kecil hidup di tengah rakyat biasa. Dalam bidang politik dan agama diasuh oleh tokoh Sarikat Islam, Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto di kota Surabaya. Sejak masa mahasiswa sudah berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
Soekarno memandang Tunku sebagai seorang pangeran Melayu yang hidup di dalam kamp penguasa kolonial. Tunku pula tidak senang dengan Soekarno yang hidup secara flamboyant tapi revolusioner, mencurigai kedekatan hubungannya dengan blok komunis (Russia-China). Keduanya berbeda secara sosial, kultural dan ideologi politik.
Perbedaan pendapat dan saling curiga-mencurigai itu, terutama setelah Tunku berhasrat menubuhkan negara federal Malaysia yang terdiri daripada Malaya, Singapura, Brunei, Sarawak dan Sabah. Bung Karno memandang ini sebagai proyek Nekolim Inggris, bukan pemikiran asli dari Tunku. Indonesia meminta agar diselengarakan plebisit di Borneo Utara. Tapi ditolak oleh Tunku. Indonesia marah lalu melancarkan konfrontasi (1963-1966).
Hubungan baru dibangun oleh Perdana Menteri kedua Malaysia, Tun Abdul Razak Hussein dan Presiden kedua Indonesia, Soeharto dalam bentuk yang lebih baik dan damai.
Konsep bangsa serumpun kembali bergema dengan lebih nyata. Apakah faktor yang berada di belakang persahabatan baru ini?
Seperti diketahui, Tun Razak di Indonesia terkenal sebagai keturunan Bugis, sementara Adam Malik wakil presiden kedua RI dan Tun Muhammad Ghazali Shafei adalah masih berkerabat sebagai orang Mandailing (Sumatra). Dalam hal ini, faktor semangat bangsa serumpun kembali berperan. Sementara itu Ali Moertopo yang sama-sama dengan Soeharto adalah pemimpin-pemimpin tentara yang anti komunis.
Dalam zaman Tun Razak juga, Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan kerjasama latihan militer: Malindo Samatha, Malindo Jaya, Malindo Mini dan Kris Kartika. Kerjasama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan pun dipertingkatkan. Indonesia dan Malaysia muncul sebagai penaja organisasi ASEAN.
Selat Melaka pula diistiharkan sebagai perairan bukan-internasional tapi berada di bawah kawalan Indonesia dan Malaysia. Tidak seperti Tunku, Tun Razak tidak banyak menyimpan kecurigaan kepada Indonesia.
Zaman pemerintahan Razak, adalah zaman kecemerlangan hubungan serumpun Indonesia-Malaysia. Kiprah Tun Razak kemudian dilanjutkan oleh Perdana Menteri ketiga Malaysia, Tun Hussein Onn.
Pada zaman Tun Razak, Malaysia mengundang guru dan dosen dari Indonesia mengajar di Malaysia, terutama di Jabatan Pegajian Melayu bertujuan untuk mempertingkatkan kesusteraan Melayu. Di antaranya yang terkenal adalah Sultan Takdir Alisjahbana.
Hubungan akrab kedua negara pada zaman Dr Mahathir Mohamad (Perdana Menteri Malaysia keempat) mulai agak terkikis. Ada faktor Mahathir berperan dalam penurunan taraf hubungan ini.
Mahathir adalah seorang pemimpin yang mempunyai karakter tersendiri. Di bawah kepimpinannya ekonomi Malaysia maju pesat dan secara politik pula Malaysia mulai berperan di arena internasional. Mahathir bahkan muncul sebagai jurubicara dunia ketiga. Kondisi ini menghujat kepimpinan Indonesia di bawah Soeharto.
Konflik status Sipadan dan Ligitan muncul ke permukaan secara serius untuk pertama kalinya. Mulanya disepakati kedudukan status quo untuk pulau-pulau ini, tapi kemudian Malaysia membangun fasilitas pelancongan (pariwisata, red) di pulau tersebut. Akhirnya perselisihan disepakati untuk diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (Internasional Court of Justice tahun 2002), kemudian ternyata perselisihan ini dimenangkan oleh Malaysia. Berbagai masalah perbatasan muncul pada masa Mahathir ini, yang terus diwarisi oleh Abdullah Badawi (Perdana Menteri kelima) dan Najib (Perdana Menteri keenam).
Efek Kebijakan
Migrasi dari Indonesia ke Semenanjung sudah biasa sejak dahulu. Pada zaman Tun Razak, Malaysia mengundang guru dan dosen dari Indonesia. Tapi corak migrasi pada zaman Mahathir, Abdullah Badawi dan Najib berbeda. Yang datang adalah pekerja-pekerja kasar, kurang terdidik, dan orang-orang miskin dari perdesaan, yang bekerja di sektor perladangan, pembangunan di perkotaan, dan sebagian lain bekerja sebagai pembantu rumah. Mereka adalah dari kelas bawah, yang dipanggil dengan sebutan “Indon” oleh orang Malaysia.
Tapi yang lebih serius daripada itu adalah masalah migran gelap, yang berperan sebagai puncak masalah sosial di Malaysia. Tahun 1981 diduga ada 100.000 migran gelap dari Indonesia, tahun 1987 mencecah 1 juta orang. Tahun 2011 diduga 2 juta orang. Efek negatif dari migran ini tidaklah main-main, kriminal, pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Menurut catatan, tiga puluh enam persen dari narapidana di penjara Malaysia adalah migran dari Indonesia. Padahal pemulangan migran gelap telah dilakukan berkali-kali.
Bagi Indonesia pula, masalah migran Indonesia adalah tentang perlakuan kasar majikan terhadap pembantu rumah, pemberian gaji yang kecoh oleh majikan, dan perlakuan kasar dan menghina oleh polisi dan relawan Malaysia terhadap migran Indonesia. Masalah ini menjadi salah satu puncak hubungan tidak harmoni antara kedua
negara.
Ada kecenderungan semangat bangsa serumpun makin mulai hilang di Indonesia, karena kekecewaan atas sikap “arogansi” saudara serumpunnya, Malaysia.
Satu hal pula yang perlu dicatat, penggunaan istilah "Indon" di Malaysia punya dampak negative di Indonesia.
Istilah “Indon” di Malaysia berbeda dengan istilah “Indon” di Indonesia. Di Indonesia, istilah ini berkonotasi negative yang dianggap sebagai ejekan atau penghinaan. Tetapi di Malaysia istilah ini merupakan sebuah singkatan yang mengacu kepada Negara atau rakyat Indonesia ,bukan yang lainnya.
Sekadar catatan, budaya Malaysia memang lebih suka dengan istilah perkataan singkat/singkatan dalam percakapan umum sehari-hari (pribadi).
Sebagaimana singkatan lainnya contohnya Banglades, di Malaysia lebih popular dengan istilah “Bangla“ juga mempunyai makna sama seperti di atas, yaitu sebuah singkatan yang mengacu kepada bangsa/rakyat Banglades. Begitu juga istilah KL= Kuala Lumpur. Di Malaysia lebih populer dengan istilah KL daripada Kuala Lumpur-nya.
Karenanya, jika hal-hal kecil tidak menjadi perhatian, boleh jadi kerasian hubungan dua negeri serumpun ini akan terus makin jauh. Adalah suatu yang kurang masuk akal, jika dua Negara yang punya ‘hubungan darah’ terlibat konflik hanya karena urusan bola, atau urusan-urusan lebih kecil lainnya. Padahal, jika dua kekuatan serumpun ini bersatu, bukan tidak mungkin akan menjadi kekuatan baru, sebuah kawasan Negara Melayu berpenduduk Muslim yang kuat yang disegani di Asia dan dunia.
Masalahnya, kapankah kekuatan itu bisa kembali bertemu dan bersatu? Walllahu a’lam.*
Penulis adalah koresponden hidayatullah.com, tinggal di Malaysia
Red: Cholis Akbar
Sumber :http://www.hidayatullah.com/read/26329/12/12/2012/menanti-bangsa-serumpun-malaysia-indonesia-berjaya.html
0 komentar:
Posting Komentar