Syaikh bin Baz mengatakan [Majalah
Al-Balagh, edisi 1028 Fatwa Ibnu Baz] :
Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi
yang mampu, karena firmanNya “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3]
Dan praktek Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam itu sendiri, dimana beliau mengawini sembilan wanita dan
dengan mereka Allah memberikan manfaat besar bagi ummat ini. Yang demikian itu
(sembilan istri) adalah khusus bagi beliau, sedang selain beliau dibolehkan
berpoligami tidak lebih dari empat istri. Berpoligami itu mengandung banyak
maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam
secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak,
tunduknya pandangan (ghaddul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang
banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri
dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan.
Tetapi orang yang tidak mampu
berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup
kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman “Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa : 3]
TAFSIR AYAT POLIGAMI
“Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]
Dan dalam ayat yang lain Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”
[An-Nisa : 129]
Dalam ayat yang pertama disyaratkan
adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adail itu
tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat
yang kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab
sikap adil tidak mungkin diwujudkan ?
Mengenai hal ini, Syaikh bin Baz mengatakan
[Fatawa Mar'ah. 2/62] :
Dalam dua ayat tersebut tidak ada
pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan
tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan
nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para
istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”
[An-Nisa : 129]
Oleh sebab itu ada sebuah hadits
dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam do’a: “Ya Allah inilah pembagian giliran
yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku
lakukan” [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]
KERIDHAAN ISTRI TIDAK MENJADI SYARAT
DI DALAM PERNIKAHAN KEDUA
Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa
Ibnu Baz : Majalah Al-Arabiyah, edisi 168] :
Jika realitasnya kita sanggup untuk
menikah lagi, maka boleh kita menikah lagi untuk yang kedua, ketiga dan
keempat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anda untuk menjaga kesucian
kehormatan dan pandangan mata anda, jikalau anda memang mampu untuk berlaku
adil, sebagai pengamalan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang
mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan
pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak
mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng baginya”
[Muttafaq ‘Alaih]
Menikah lebih dari satu juga dapat
menyebabkan banyak keturunan, sedangkan Syariat Islam menganjurkan memperbanyak
anak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Kawinilah
wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena
sesungguhnya aku akan menyaingi umat-umat yang lain dengan bilangan kalian pada
hari kiamat kelak” [Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban]
Yang dibenarkan agama bagi seorang
istri adalah tidak menghalang-halangi suaminya menikah lagi dan bahkan
mengizinkannya. Selanjutnya hendak kita berlaku adil semaksimal mungkin dan
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap istri-istri kita. Semua hal
diatas adalah merupakan bentuk saling tolong menolong di dalam kebaikan dan
ketaqwaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman “Dan saling tolong
menolong kamu di dalam kebajikan dan taqwa” [Al-Maidah : 2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda “Dan Allah akan menolong seorang hamba selagi ia suka
menolong saudaranya” [Riwayat Imam Muslim]
Anda adalah saudara seiman bagi
istri anda, dan istri anda adalah saudara seiman anda. Maka yang benar bagi
anda berdua adalah saling tolong menolong di dalam kebaikan. Dalam sebuah
hadits yang muttafaq ‘alaih bersumber dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa
yang menunaikan keperluan saudaranya, niscaya Allah menunaikan keperluannya”
Akan tetapi keridhaan istri itu
bukan syarat di dalam boleh atau tidaknya poligami (menikah lagi), namun
keridhaannya itu diperlukan agar hubungan di antara kamu berdua tetap baik.
BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG
MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAK-ANAK YATIM
Ada sebagian orang yang berkata,
sesungguhnya menikah lebih dari satu itu tidak dibenarkan kecuali bagi
laki-laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat
berlaku adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya
(perempuan yatim). Mereka berdalil dengan firman Allah “Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat” [An-Nisa : 3]
Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa
Ibnu Baz, di dalam Majalah Al-Arabiyah, edisi 83]
:
Ini adalah pendapat yang bathil.
Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim
berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa
memberikan mahar sepadan kepadanya, maka hendaklah mencari perempuan lain,
sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu terhadapnya.
Ayat diatas memberikan arahan
tentang boleh (disyari’atkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena
yang demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan
pandangan mata dan memelihara kesucian diri, dan karena merupakan pemeliharaan
terhadap kehormatan kebanyak kaum wanita, perbuatan ikhsan kepada mereka dan
pemberian nafkah kepada mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya
perempuan yang mempunyai separoh laki-laki (suami), sepertiganya atau
seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun
dengan syarat adil dan mampu untuk itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat
berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh mempergauli
budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana saat beliau
wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah berfirman “Sesungguhnya
telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik” [Al-Ahzab : 21]
Hanya saja Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah
kaum laki-laki, pent) bahwa tidak seorangpun boleh menikah lebih dari empat
istri. Jadi, meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menikah
adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya itu
merupakan hukum khusus bagi beliau.
Sumber :
Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi
Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq